Ulasan Studi Kasus #3, Oleh Kelompok 8



7 tahun yang lalu, bisnis telekomunikasi menjadi salah satu dari 5 sector bisnis yang paling menggiurkan menurut Bank Indonesia, dimana penetrasi layanan telekomunikasi masih rendah dan ketersediaan handset yang berlimpah, membuat operator telekomunikasi menangguk untung besar dengan pecepatan pertumbuhan yang significant. Bisnis voice dan pesan singkat kala itu menjadi motor penggerak utama pemasukan operator. ARPU masih diatas kisaran 100 ribu per bulan, dan bahkan harga simcard perdana saja masih terbilang mahal. Sedangkan layanan data pada saat itu masih menjadi layanan tambahan sempalan alias Value Added Service dengan teknologi GPRS dan HSCSD nya. Layanan data miskin akan killer application dan terkesan sekedarnya saja digelar, terlebih pipa kecepatan yang ditawarkan dari teknologi yang tersedia yang hanya ~18kbps sehingga membuat pelanggan malas untuk mencobanya.

Jaman berubah, sekarang eranya data, begitu jargon yang sering didengungkan oleh para vendor telekomunikasi. Teknologi radio berkembang pesat dari era 2G melompat menjadi 3G, 3.5G dan sekarang 4G. Semua ujung-ujungnya hanyalah untuk transmisi data yang lebih cepat, lebih cepat dan lebih cepat lagi.
Faktanya trend data ini malah membuat masa-masa “happy hour” bisnis telekomunikasi di Indonesia berbalik suram, hal ini dicerminkan oleh menurunnya pertumbuhan pendapatan atau blended ARPU dari para operator. Total pendapatan 3 operator besar telekomunikasi di Indonesia mengalami trend saturasi sejak tahun 2008,  bahkan pertumbuhan pendapatan mengalami penurunan yang significant sekitar 50% dari tahun 2008 YoY 2009. Trend tersebut berlanjut hingga saat ini sehingga membuat sector bisnis telekomunikasi kalah oleh sector energy, food processing, infrastructure, banking dan oil/gas.
 
Sumber: http://www.manajementelekomunikasi.org/2012/07/pertumbuhan-industri-telekomunikasi-di.html, nurmaya widuri

Lalu bagaimana ini bisa terjadi?, apa penyebabnya? Dan mengapa dari trend 3 besar operator telekomunikasi di Indonesia yaitu Telkomsel, Indosat dan khususnya XL menunjukkan trend yang berbeda?
Penulis dalam kesempatan kali ini akan mencoba membahas, menganalisis serta menyumbang saran. Semoga bermanfaat
 

1. Fakta-Fakta Pendukung
Beberapa fakta pendukung yang bisa digali dari berbagai sumber adalah sebagai berikut:
Fakta 1: Decoupling Phenomenon dan Saturasi Pelanggan
Data traffic dari operator selular terus tumbuh secara exponential, seiring dengan menjamurnya trend smartphone dan mobile data access.  Akan tetapi fenomena ini menjadi dilemma bagi operator, disatu sisi pertumbuhan ini menunjukkan kebangkitan salah satu service baru mereka, disisi lain jaringan mulai mengalami congestion dan dibutuhkan investasi yang tinggi untuk memberikan service yang memuaskan sedangkan revenue yang dihasilkan oleh service data tidak sedramatis pertumbuhan traffic. Hal ini dikenal dengan decoupling phenomenon, yang sudah terjadi di Indonesia ketika traffic data menjadi dominan demand khususnya di 3 operator besar seperti Telkomsel, Indosat dan XL.
Industri telekomunikasi di Indonesia pada waktu dulu tumbuh pesat, baik disisi pendapatan maupun pelanggan, karena penetrasi selular di Indonesia masih kecil. Sekarang ini jumlah pelanggan operator seluler sudah menembus angka 250 juta nomor melampaui jumlah penduduk Indonesia yang hanya 230 juta. Dengan begitu pertumbuhan juga sulit mencapai angka yang double digit.

Fakta 2: Stock Chart
Jika ditilik dari kinerja saham antara 3 besar operator tersebut ada perbedaan kinerja jika kita amati pergerakan sahamnya selama 5 tahun terakhir. Sejak awal tahun 2010 XL melejit meninggalkan Indosat dan Telkom dengan peningkatan harga saham sebesar 50% setiap quarternya, sedangkan Indosat dan Telkom (Induk perusahaan Telkomsel) sebagai perusahaan bluechip terdepan Indonesia stagnan dan cenderung turun
 
Sumber: yahoo finance
 
Fakta 3: Perubahan kepemilikan saham dan Nahkoda Perusahaan
Perubahan kepemilikan secara significant terjadi di Indosat sejak Maret 2007, dimana STT menjual kepemilikan saham di Indosat sebesar 25% kepada Qatar Telecom, dan kemudian Qatar Telecom terus meningkatkan kepemilikannya dengan membeli saham Indosat dari ICL pada Juni 2008 sehingga menjadi pemegang saham mayoritas di Indosat sebesar 65%. Setahun kemudian pucuk pimpinan Indosat berganti nahkoda dari Johny Swandy Sjam ke Harry Sasongko Tirtotjondro seorang banker dari GE Finance. Harry memimpin Indosat sampai September 2012 lalu yang kemudian digantikan oleh Alexander Rusli yang dulu menjabat komisaris di Indosat.
XL Axiata pun mengalami beberapa kali perubahan kepemilikan saham dan Direktur perusahaan. Dimulai dari tiga investor asing NYNEX, AIF, MITSUI yang membentuk PT. Excelcomindo Pratama pada tahun 1995. 10 tahun kemudian XL mencatatkan perusahaanya menjadi perusahaan public di Bursa Efek Jakarta. Saat ini mayoritas saham XL dimiliki oleh group Axiata berhard melalui Axiata Investasi Sdn Bhd sebesar 66.6% dan Etisalat sebesar 4.2%. Etisalat baru-baru ini pada tanggal 18 September lalu menjual 9.1% sahamnya sebesar $502 Juta ke bursa saham. Direksi XL sekarang dipimpin oleh Hasnul Suhaimi sejak September 2006 sampai sekarang.
 
2. Faktor-Faktor Penyebab
 
a) Faktor Eksternal
a. Sentimen Pasar Saham
Selain dari laporan keuangan perusahaan, sentimen pasar saham sangat berpengaruh terhadap pergerakan saham itu sendiri. Contohnya ketika XL dinahkodai oleh Hasnul Suhaimin yang notabene adalah direktur Indosat sebelumnya, banyak orang yang bertaruh bahwa XL dibawah kepemimpinan beliau akan sukses dan maju pesat, hal yang sama ketika salah satu pemegang saham XL, Etisalat, menjual sebagian sahamnya 17 September lalu, pasar meresponse negative sehingga saham XL sempat turun.
 
 
Sumber: yahoo finance
b. Perubahan Teknologi
Beberapa perubahan teknologi yang turut andil menjadi kunci sukses operator  dalam persaingan diantaranya adalah sebagai berikut:
• Data defined strategy. Xl menerapkan all new 3G sites deployment policy dan menjadi satu-satunya operator yang berkampanye penggunaan 3G network untuk akses data yang lebih baik. Dengan memperhatikan trend data yang ada, disini XL menyadari bahwa biaya/bit yang dikeluarkan untuk membangun network 2G EDGE jauh lebih mahal dibanding dengan 3G dengan kapasitas yang sama, sehingga investasi di 3G network sekarang ini dianggap sudah lebih menarik disbanding 2G. Untuk tahun 2012 saja, XL sudah menganggarkan Rp7-8tn CAPEX dan sekita 60% nya digunakan untuk meningkatkan kapasitas dan coverage 3G network. Dengan total rencana CAPEX sekitar $2-3bn untuk mendapatkan kualitas 3G network yang baik, bisa dipastikan tidak ada capex slowdown dalam waktu 2-3 tahun kedepan.
• Supporting Infrastructure readiness. Untuk menunjang 3G sites deployment tersebut sedari dini XL sudah mengupgrade infrastruktur backbone, power supply, space shelter agar siap digunakan untuk 3G sites
• Data charging and policy control. Disisi core network, pemilihan produk online data charging dan PCRF (Policy Control Resource Function) menjadi salah satu kunci keberhasilan perusahaan mengemas paket data. Sering kali problem yang terjadi di jaringan disebabkan oleh perangkat ini yang jika bermasalah bisa menyebabkan massive network outage dan kerugian yang amat besar.
• All IP MPLS network dan flat convergence architecture turut menunjang fleksibilitas network dalam mengadopsi kebutuhan traffic, reliability, redundancy dan scalability. Dengan IP network operator siap dengan perubahan teknologi untuk menyongsong era LTE.
• LTE ready. Di era LTE, eNodeB terhubung langsung dengan PGW, sehingga secara architecture jaringan akan ada banyak node yang tidak terpakai lagi seperti RNC, BSC dan SGSN. Logic dan fungsi node-node tersebut akan diturunkan ke eNodeB. Penyederhanaan architecture teknologi ini berimbas terhadap kompetensi karyawan yang dihilangkan kedepannya, sehingga akan ada banyak departemen yang merger atau berdifusi. Terlebih jika diimplementasikannya teknologi self optimization network
• Core Network modernization. Tingkat kompresi suara yang semakin kecil dan kapasitas switching yang semakin besar dengan platform ATCA membuat footprint network element semakin sedikit, sehingga kebutuhan akan CAPEX juga bisa ditekan
• Over the TOP Services adalah layanan yang berjalan diatas layanan yang diberikan oleh operator, seperti facebook, youtube, twitter dan lainnya. Lebih dari 60% rata-rata traffic operator saat ini menuju ke Facebook, setelah itu Google dengan youtube service nya dan kemudian twitter. Operator saat ini belum banyak berhasil memonitize layanan over the top, dan malah berkutat terhadap jualan pipa saja/dumb pipe dengan produk unlimited data service.
• Fair usage policy then charged. XL pada awal tahun 2012 sudah mencanangkan untuk meninggalkan layanan unlimited, sedangkan operator lain masih memasarkan produk ini karena lebih disukai oleh pelanggan. Pertimbangan ini membuat traffic data di XL menjadi lebih moderate disbanding operator lain, sehingga dengan penggunaan yang rendah XL bisa menawarkan harga paket data yang lebih fair kepada pelanggan dengan kualitas yang masuk akal.
 
c. Trend Manage Service
Tidak bisa dipungkiri trend manage service di operator selular semakin menjamur untuk menekan biaya operasional perusahaan. Sejak April 2012, XL bekerja sama dengan PT. Huawei Service bertanggung jawab terhadap operasionalisasi jaringan, network field operation, field service, fault maintenance dan termasuk biaya untuk listrik. Setidaknya ada beberapa keuntungan yang diraih XL, yaitu:
• Beban operasional karyawan dalam jangka panjang akan berkurang, dengan employee transfer sebanayk 1200 orang ke Huawei Service
• Proteksi terhadap fluktuasi harga kemungkinan kenaikan harga bahan bakar dan listrik
• Estimated cost saving sebesar $150m dan progressive improved margin selama 7 tahun kedepan
Kebijakan ini menuai hasil positif di bursa saham, harga saham XL tekerek dari Rp 5000/lembar saham menjadi Rp 7000/lembar saham.
 
 
b) Faktor Internal
a. SDM – The man behind the gun
Sejak “dibajak” nya Hasnul Suhaimi dari Indosat di tahun 2006, Beliau diberikan kebebasan sepenuhnya untuk memformulasikan visi dan misi perusahaan. Hal ini tercermin dari slogan XL kala itu sejak kepemimpinanya yang berbunyi 1,2,3; Menjadi operator dengan kualitas nomer 1 terbesar ke-2 dalam 3 tahun. Visi dan misi ini terus di terjemahkan sampai level bawah sehingga seluruh karyawan bahu-membahu dalam gerbong yang sama menuju tujuan perusahaan
Kepemimpinan yang solid,  tidak berubah-ubah dan menempatkan ahlinya dibidangnya juga diterapkan oleh beliau, dengan diangkatnya Dian Siswarini sebagai CTO yang merintis karir dari bawah, mencerminkan kepercayaan pimpinan terhadap anak buah. Formasi pemimpin yang mapan juga sangat penting untuk memastikan bahwa visi dan misi perusahaan tidak berubah di tengah jalan.
Sedangkan di Indosat khususnya, beban jumlah karyawan yang besar membuat perusahaan sulit bergerak secara dinamis, belum lagi isu-isu politik internal perusahaan pasca peralihan kekuasaan ke QTEL dan Eks Karyawan Satelindo yang menjadi beban tersendiri bagi perusahaan untuk mengkomodir seluruh karyawan.
Banyaknya unit bisnis di Indosat yang saling tumpang tindih misalnya antara IM2 dengan Lintasarta, juga menjadikan Indosat sebagai induk perusahaan mempunyai PR besar dalam mensinergikan anak perusahaannya.
Hal yang sama dialami oleh Telkomsel, dengan karyawan berjumlah lebih dari 4000 pegawai, membuat perusahaan ini kesulitan dalam mengelola sumber dayanya dan menyebabkan membengkaknya biaya operasional perusahaan.
Ujung-ujungnya the man behind the gun benar-benar menjadi kunci keberhasilan perusahaan. XL dalam hal ini juga menyadari hal yang sama dan mengambil keputusan yang cukup berani dengan me-manageservice-kan bagian operationalnya ke Huawei bulan April 2012. Langkah berani XL ini diresponse positif oleh pasar saham sehingga nilai saham XL melejit dengan kenaikan sebesar 40% sejak April lalu.

b. Marketing Campaign
XL merupakah operator yang sangat serius dalam melakukan permanent branding, terutama untuk beberapa daerah seperti Bali dan Lombok. Strategi ini cukup jitu untuk menguasai pasar di daerah tersebut.
Kampanye program murah masih menjadi andalan operator tersebut untuk merebut konsumen, hal yang sama juga dilakukan oleh operator lain.
Akan tetapi untuk Indosat dan Telkomsel mereka mempunyai beban lebih dikarenakan kedua operator tersebut mempunyai beberapa brand simcard untuk segmentasi pasar yang hampir overlap, seperti indosat dengan Mentari dan IM3 dan Telkomsel dengan Simpati, kartu AS dan Kartu halo. Sedangkan XL hanya mempunyai single branding saja.
 
c. Network Sharing
Beberapa inovasi untuk mendapatkan revenue tambahan juga gencar dilakukan oleh XL, seperti kerjasama RAN sharing dengan Indosat dan HCPT dan network roaming dengan AXIS di area Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Hal itu semua menjadikan XL sebagai the most innovative operator cellular.

3. Kesimpulan
a. Faktor Kepemimpinan dan SDM ahli yang handal sangat berpengaruh dalam menentukan arah perusahaan
b. Increasing revenue dan cutting cost dengan cara Manage Service bisa meningkatkan kinerja perusahaan
c. Inovasi dan adaptasi terhadap perubahan teknologi membantu perusahaan untuk mencapai tujuannya
d. Tidak selamanya abusive marketing campaign berimpact dengan baik, kini jamannya memperbaiki dan menawarkan kualitas terhadap pelanggan agar tidak terjeback terhadap perang harga

4. Saran
Ada dua kata yang penting bagi operator untuk survive kedepannya: Increase revenue dan lower the cost. Berbagai cara bisa dilakukan untuk mengejar keduanya, berikut beberapa saran berdasarakan pemikiran penulis yang bisa dilakukan dan patut di waspadai kedepannya:
a. Internal
i. Potentially Unmanaged Manage Service
Manage service dalam satu sisi banyak member keuntungan disisi lain bisa menjadi boomerang buat operator. Beberapa kelemahan Manage service yang patut diwaspadai adalah:
• MS vendor biasanya hanya terpaku apa yang tertulis dikontrak dalam mengerjakan tugasnya, sering kali hal ini membuat operator tidak berkutik ketika meminta mereka melakukan hal ialin yang sebenartnya sederhana tetapi tidak tercover dalam kontrak, akibatnya biaya operasional tak terduga bisa melambung tinggi
• Ada beberapa hal yang hilang jika kita meng-outsource-kan SDM operator ke pihak lain yaitu sense of urgency dan sense of belonging terhadap operator yang bisa berimbas pada kualitas pekerjaan
• MS biasanya berusaha menekan biaya operasional dengan mengurangi head count di teamnya, jika tidak diantisipasi hal ini bisa merugikan operator
• Turn over yang tinggi di MS vendor bisa menyebabkan penurunan kualitas pekerjaan, karena SDM MS tidak secara langsung dikendalikan oleh operator
Beberapa saran yang bisa diberikan adalah:
• Kontrak yang jelas, menyeluruh, detail dan KPI pengukuran yang akurat menjadi kunci keberhasilan manage service
• Reward dan punishment yang ketat harus diberlakukan untuk menjaga performa MS vendor
ii. Monetizing everything
Layanan over the the TOP seperti facebook, google dan twitter menikmati keuntungan besar dari hasil iklan yang diakses pelanggan operator, sudah saatnya operator mengambil alih peran tersebut. Bisnis iklan tumbuh menjadi raksasa pemasukan penyedia content tersebut. Menurut hasil penelitian Nielsen Q1 2011, nilai transaksi mobile advertising spending di Indonesia lebih dari Rp4.2tn dan tumbuh dikisaran 8%-10% per tahunnya.
Berdasarkan Buzzcity report pada bulan januari 2012, traffic mobile advertising di Indonesai mempunyai 5.6 milyar impression di Q4 2011 dengan unique user sebanyak 32 juta orang.
Angka-angka diatas adalah opportunity besar buat operator untuk mendapatkan kurva S revenue baru dari bisnis over the TOP.
Untuk itu dibutuhkan sautu ekosistem data core network yang mumpuni untuk menginjeksikan advertising kedalam konten yang diakses oleh pelanggan seluler dalam rangka memonetize traffic yang ada.
iii. Personalization is the next killer application
Sejalan dengan poin monetizing diatas, personalization adalah kunci selanjutnya. Personalization ini bisa mencakup banyak hal, misalnya ketika pelanggan A berkunjung ke Mal tertentu, dengan otomatis operator mendeteksi keberadaan pelanggan tersebut dan menawarkan voucer atau discount untuk took-toko yang bekerjasama di daerah tersebut, kedepannya bisa dibuat lebih personal lagi, iklan yang ditawarkan sesuai dengan kebutuhan dan profil si pelanggan tersebut, sepertigender, usia, hobi, minat, dan lainnya.
Dibutuhkan sebuah database terintegrasi dari network, customer profile databse, dan realtime lokaction server untuk menentukan iklan yang cocok.
Ada banyak hal lainnya yang bisa didevelop dengan personalization ini, intinya network bukan lagi sekedar penyambung suara atau data, tetapi harus lebih dari itu, sebuah human network yang mengerti pelanggan, sehingga pelanggan mempunya keterikatan dan loyalitas yang kuat terhadap operator.
iv. The future customer: Machine to Machine
Di Eropa dengan tingkat saturasi pelanggan yang sudah sangat jenuh, ternyata masih ada pertumbuhan pelanggan dan traffic. Ada tipe pelanggan baru yang digarap serius disana, yaitu machine to machine, contohnya alat tracking device yang memberikan informasi log secara realtime melalui jaringan selular ke data centre. Kedepannya hal ini harus didorong lebih banyak lagi karena potensi untuk berkembang di Indonesia masih sangat besar dan belum banyak digarap.
b. External
i. LTE atau HSPA+ 84Mbps, pilih mana?
Ditengah ketidakjelasan regulasi frekuensi untuk LTE, muncul teknologi lanjutan HSPA+ 84Mbps. Teknologi ini menawarkan migrasi yang lebih smooth disisi radio dan core network dengan kecepatan yang ditawarkan mendekati kemampuan LTE. Dengan HSPA+ 84Mbps, operator bisa menggelar jaringan dengan refarming spectrum frekuensi yang ada di 2.1GHzMungkin teknologi ini bisa menjadi option atau setidaknya sebagai bahan kajian bagi operator.
ii. Merger dan sinergi operator selular dengan network sharing
Kemampuan suatu operator menggelar layanan broadband tergantung dari lebar bandwidth frekuensi yang dimiliki operator. Jika masing-masing operator hanya mempunyai 2 channel alokasi saja untuk layanan 3G, bisa dipastikan pada suatu saat traffic akan jenuh dan mengalamai congestion. Sisa 2 kanal yang tersedia akan dilelang oleh pemerintah dalam waktu dekat. Tingkat persaingan yang tinggi dan harga lelang frekuensi yang sangat mahal mungkin membuat operator kecil atau bahkan sekelas Xl pun berpikir ulang untuk mendapatkannya. Salah satu option adalah merger dengan mengakuisisi operator GSM/WCDMA lainnya yang lebih kecil speerti AXIS atau HCPT. Jika XL mengakuisisi dengan harga yang reasonable, bisa saja XL mendapatkan tambahan alokasi frekuensi dari merger tersebut, tambahan pelanggan dan tentu saja mengurangi persaingan.
Cara lain untuk berhemat adalah dengan network sharing. Network sharing bisa dilakukan di level mana saja, mulai dari level tower, BTS, RNC, core network, billing system sampai kepada full mobile virtual network operator. Dari 13 ribu tower yang dimiliki oleh XL, dua pertiganya tower yang dimiliki oleh XL sendiri. Tingkat tenancy ratio tower XL rata-rata ada di sekitar 1.7x, sedangkan kapasitas maksimum bisa sampai 3.5x. Kedepannya XL masih bisa meningkatkan tenancy ratio tower-towernya.
 

0 comments:

Post a Comment

Membuat Link Pada Komentar Anda
Agar pembaca bisa langsung klik link address, ketik:
<a href="link address">keyword </a>
Contoh:
Info terkini klik <a href="www.manajementelekomunikasi.org"> disini. </a>
Hasilnya:
Info terkini klik disini.

Menambahkan Gambar Pada Komentar
Anda bisa menambahkan gambar pada komentar, dengan menggunakan NCode berikut:

[ i m ] URL gambar [ / i m ]

Gambar disarankan memiliki lebar tidak lebih dari 500 pixels, agar tidak melebihi kolom komentar.

---

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger