Wednesday, September 26, 2012

Studi Kasus #1: Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Mengenai Telekomunikasi


Lahirnya Undang-Undang (UU) No. 36 Tahun  1999 tentang Telekomunikasi sebagai pengganti UU No. 3 Tahun  1989 bukannya tanpa alasan. Mencuatnya  pandangan bahwa regulasi yang ada saat  itu  dinilai  sudah  tidak  memadai  lagi merupakan  titik  awal dilakukannya  peninjauan kembali terhadap UU No. 3 Tahun 1989, dimana salah satu hasil utamanya adalah dihapuskannya  sistem  penyelenggaraan  telekomunikasi yang bersifat  monopolistik. Namun lahirnya  UU  No.  36 Tahun  1999 pun  tidak  membuat   masalah  di  sektor  telekomunikasi berhenti. Saat ini terdapat banyak indikasi akan perlunya UU tersebut untuk  direvisi. Perbandingan yang dapat diketahui secara ringkas terkait kedua UU tentang telekomunikasi tersebut dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut :


Sumber : UU Telekomunikasi No.3 Tahun 1989 dan UU No.36 Tahun 1999

Laporan ini berusaha menginventarisasi  faktor-faktor yang mendorong  lahirnya UU No. 36 Tahun  1999, membuat  analisa kebijakan pada UU No. 36 Tahun 1999 terkait dengan model bisnis baru serta memberikan  saran yang relevan terkait dengan perubahan  tersebut.
Permasalahan yang Ingin Dijawab
Laporan  Akhir  ini  mencoba  menjawab  beberapa  permasalahan  mengenai  perubahan   UU Telekomunikasi, yaitu:
1.  Mencari fakta pemicu lahirnya UU No. 36 Tahun 1999;
2. Melakukan analisis untuk menilai keterbatasan UU No. 36 Tahun 1999 saat ini sesuai dengan tema ICT Outlook  2012; dan
3. Menyusun kesimpulan dan saran yang dapat diterapkan


Dasar Teori

Laporan ini menggunakan model analisis kebijakan Weimer-Vining dengan kerangka berikut.


Model Analisis Kebijakan Weimer-Vining

Analisa

Pemicu Lahirnya UU No. 36 Tahun 1999
Menurut beberapa sumber, faktor yang memicu lahirnya UU No. Tahun 1999 adalah:
1.  Perubahan teknologi;
2. Krisis Ekonomi, Sosial dan Politik; serta
3. Dominasi pemerintah dalam penyelenggaraan telekomunikasi dan proyek Nusantara21;
4. Perubahan nilai layanan telekomunikasi dari barang publik menjadi komoditas;
5. Teledensity  rendah;
6. Masuknya modal asing di sektor telekomunikasi;
7. Keterbatasan penyelenggara pada era monopoli dalam hal pembangunan  infrastruktur;
8. Pergeseran  paradigma  perekonomian dunia,  dari  masyarakat  industri  menjadi  masyarakat informasi;
9. Praktik  bisnis yang tidak sehat di sektor telekomunikasi; dan
10.Kurangnya sumber daya manusia di sektor telekomunikasi.

Keterbatasan UU No. 36 Tahun 1999 saat  ini
Untuk mengidentifikasi  permasalahan,  Weimer-Vining  menawarkan  penggunaan  pohon keputusan  dengan model berikut:


“Pohon Keputusan” Analisis UU No. 36 Tahun 1999 Saat Ini


Dalam kasus yang menjadi tema utama ICT  Outlook  2012, beberapa variable diperlukan  dalam menggunakan  model  “pohon  keputusan”  tersebut antara  lain ARPU  operator   dan  revenue OTT  dan  teledensitas [1] , perkembangan  teknologi [2] serta regulasi. Ketiga  variabel  tersebut apabila diimplementasikan ke dalam “pohon keputusan” akan menghasilkan skema berikut
Hasil dari penggunaan “pohon keputusan”  diketahui  bahwa terjadi market failure dan goverment failure  di mana  saran  yang  sesuai adalah menemukan kebijakan yang unggul dan membandingkan cost dari implementasi  kebijakan tersebut terhadap market failure. Indikasi dari market failure terlihat dari ARPU  operator  yang kian  menurun.  Hal  ini berbanding  terbalik dengan  peningkatan  teledensitas dan revenue  bisnis OTT  yang terus terjadi. Sementara  itu, pemerintah juga turut  serta memberikan  warna terhadap fenomena  market failure. Government failure yang terjadi disebabkan oleh kegagalan pemerintah dalam mengantisipasi  perkembangan teknologi.
Perkembangan teknologi, seperti  teknologi IMS, dapat  merubah  model bisnis telekomunikasi secara  keseluruhan.   Sebagai  contoh,   sebuah  pelang gan  dapat  membeli  atau  menyewa infrastruktur  dari  sebuah  penyelenggara  dan  berlangganan  sebuah  atau  beberapa  layanan kepada penyelenggara lainnya. Hal ini tentunya dapat menyebabkan  model bisnis yang tadinya berupa  intergrasi  vertikal, dimana  penyelenggara menguasai bisnis dari hulu ke hilir, berubah menjadi  integrasi  horisontal  untuk mereduksi  CAPEX  dan  TCO   serta mengoptimalisasi OPEX  sehing ga penyeleng gara  dapat  bersaing  dalam  sistem  kompetisi  penuh.  Selain disebabkan  oleh market failure, kegagalan regulasi dalam mengadopsi  perubahan  model bisnis juga  menjadi  sebab  utama  dalam  perma salahan  ini.  UU  No.  36  Tahun   1999  ga gal mendefinisikan dengan jelas batasan dan jenis jasa telekomunikasi sehingga banyak bisnis OTT yang menjamur dengan menumpang “secara gratis” kepada pelenggara jaringan telekomunikasi.



Kesimpulan

Dalam  laporan  awal ini disampaikan  sebuah  kesimpulan,  yaitu terjadi perulangan  fenomena antara  yang terjadi  di  jaman  UU  No.  3  Tahun  1989  dan  UU  No.  36 Tahun  1999  yaitu ketidakmampuan regulasi dalam mengadopsi  perkembangan teknologi dan pergeseran  model bisnis telekomunikasi.

Saran

Dalam laporan awal ini disampaikan beberapa saran, yaitu:
1.  Diperlukannya  sebuah  regulasi baru  yang dapat  mengadopsi  model  bisnis  baru  di sektor telekomunikasi yang memisahkan  antara  layer layanan dan  infrastruktur sehingga sebuah penyelenggara  dapat  mereduksi  TCO  serta  bersaing  dan bersimbiosis  mutualisme  dengan jenis penyelenggara layanan baru; dan
2. Diperlukannya  sebuah model interaksi  dalam regulasi untuk  mengatur  mekanisme  interaksi antar  penyelenggara telekomunikasi, baik itu penyelenggara layanan maupun  infrastruktur. Sehingga terdapat mekanisme bisnis yang sehat antar penyelenggara telekomunikasi.

Penulis,

Kelompok 7

Referensi :

1 Data ARPU bersumber dari http://mtel.mercubuana.ac.id/wp-content/uploads/2010/09/paper04.pdf
2 Perkembangan teknologi yang dimaksud adalah perkembangan teknologi yang berkaitan dengan konvergensi
TIK, antara lain adalah teknologi IMS (IP Multimedia Subsystem) yang bersumber dari http://www.rennes.enst-bretagne.fr/~gbertran/files/IMS_an_overview.pdf)

Monday, September 10, 2012

Penggunaan Alokasi Pita Frekuensi di Indonesia



Alokasi frekuensi merupakan suatu hal yang sangat dibutuhkan dalam industri telekomunikasi. Terutama untuk komunikasi mobile, frekuensi menjadi sumber daya utama yang harus tersedia. Tetapi pentingnya alokasi frekuensi tersebut tidak didukung dengan jumlahnya yang sangat terbatas. Di Indonesia. Hampir semua alokasi frekuensi untuk kebutuhan seluler telah digunakan untuk berbagai macam teknologi. Berikut ini adalah beberapa gambaran mengenai kondisi saat ini untuk beberapa alokasi frekuensi di Indonesia.

Pita frekuensi 700 MHz.

Pada gambar dibawah ini memperlihatkan kondisi pita frekuensi di 700 MHz. Pita frekuensi ini digunakan untuk analog TV. Dengan lebar pita selebar 336 MHz dan digunakan oleh beberapa stasiun broadcast TV. Saat ini telah ada kebijakan pemerintah untuk mengganti analog TV menjadi digital TV. Dengan kebijakan ini maka penggunaan frekuensi untuk broadcast TV akan semakin kecil sehingga dapat menyisakan alokasi frekuensi yang nantinya akan dapat digunakan untuk layanan mobile broadband. Alokasi frekuensi yang dapat digunakan untuk mobile broadband sangat besar yaitu sekitar 112 MHz. Alokasi selebar ini akan dapat digunakan untuk implementasi LTE tetapi masalahnya harus menunggu hingga tahun 2018 dan pada tahun tersebut perkembangan teknologi broadband akan lebih berkembang lagi.



Pita frekuensi 850 MHz.

Pada gambar dibawah ini memperlihatkan kondisi saat ini di pita frekuensi 850 MHz. Pita frekuensi ini digunakan untuk layanan FWA CDMA. Operator yang menggunakan frekuensi ini ada 4 operator dengan memiliki lebar alokasi frekuensi yang berbeda beda. Lebar pita untuk keseluruhan alokasi frekuensi ini adalah 20,25 MHz. Dengan melihat perkembangan teknologi telekomunikasi saat ini dimana semakin lama membutuhkan lebar pita frekuensi yang semakin lebar maka frekuensi ini belum dapat memenuhi kebutuhan lebar pita frekuensi di masa mendatang.



Pita Frekuensi 900 MHz.

Pada gambar dibawah ini memperlihatkan kondisi saat ini di pta frekuensi 900 MHz. Pita frekuensi ini digunakan untuk layanan GSM 2G. Operator yang terdapat pada frekuensi ini ada 3 operator. Masing-masing operator memiliki lebar pita yang berbeda, Indosat memiliki 10 MHz, Tsel dan XL memiliki 7,5 MHz. Lebar pita secara keseluruhan pada alokasi frekuensi ini adalah 25 MHz. Dengan jangkauan yang lebih luas, frekuensi 900 Mhz diharapkan mampu mengusung layanan mobile broadband. Sebagai contoh, Saat ini 3G di Indonesia berjalan di frekuensi 2100 Mhz dengan bandwidth 5 Mhz. Sedangkan bila 3G diadopsi pada frekuensi yang lebih rendah, 900 Mhz, maka jangkauan akan meningkat lebih jauh. Dengan kelebihannya itu, 3G di 900 Mhz mulai banyak diadopsi operator di luar negeri. Berdasarkan rilis dari GSA (Global mobile Suppliers Association) tahun 2010 lalu, sudah 10 operator yang mengadopsi solusi ini. Elisa dari Finlandia menjadi yang pertama meluncurkan 3G 900 Mhz pada tahun 2007, dan terakhir Digitel dari Venezuela pada tahun 2009. Untuk wilayah Asia, beberapa operator di Thailand, Singapura, Filipina dan Hong kong juga sudah mulai mengadaptasi 3G 900 Mhz.



Pita Frekuensi 1800 MHz.

Pada gambar dibawah ini memperlihatkan kondisi pada pita frekuensi 1800 MHz. Pita frekuensi ini digunakan untuk layanan GSM 2G dengan 5 operator yang beroperasi pada alokasi frekuensi ini. Lebar pita secara keseluruhan adalah 75 MHz. Untuk masing-masing operator mempunyai lebar pita yang berbeda, XL memiliki 7,5 MHz, Tsel memiliki total 22,5 MHz dengan 3 blok frekuensi yang terpisah, Isat memiliki total 20 MHz dengan 2 blok frekuensi yang terpisah, HCPT-Tri memiliki total 10 MHz dan Axis Memiliki 15 MHz.

 

Pita Frekuensi 2100 MHz.

Pada gambar dibawah ini merupakan kondisi pada pita frekuensi 2100 MHz. Pita frekuensi ini digunakan untuk layanan UMTS dan terdapat 5 operator yang menggunakan frekuensi ini dengan masing-masing memiliki lebar pita 10 MHz atau 2 blok alokasi frekuensi. Total lebar pita frekuensi ini adalah 60 MHz. Pita frekuensi ini memiliki 12 blok frekuensi dengan masing-masing lebar pita 5 MHz. Dari 12 blok frekuensi ini masih terdapat 2 blok frekuensi yang masih kosong. HCPT(3), NTS (Axis), XL, Indosat dan Telkomsel masing-masing memiliki 2 blok frekuensi sebesar 2 x 5 MHz. Lokasi frekuensi ini berdasarkan pemetaan hasil lelang tahun 2006-2008. Pemberian blok frekuensi kedua telah dilakukan pada tahun 2009 kepada Telkomsel dan Indosat dan pada tahun 2010 untuk XL. Pada bulan Desember 2011 lalu pemerintah memberikan blok frekuensi kedua untuk HCPT (3) dan Axis. Adanya pengalokasian gabungan antara PCS-1900 (Smart Telcom) yang beroperasi sejak tahun 2007 dan UMTS ini akan berpotensi terjadi interference.

 

Pita frekuensi 2300 MHz.

Berdasarkan Peraturan Menkominfo nomor 08/PER/M.KOMINFO/01/2009 tanggal 19 Januari 2009 tentang Penetapan Pita Frekuensi Radio Untuk Keperluan Layanan Pita Lebar Nirkabel Pada Pita Frekuensi Radio 2.3 GHz ditetapkan bahwa pita ini menggunakan moda TDD (Time Division Duplex)yang terdiri dari 15 nomor blok dimana nomor blok 1 sampai dengan nomor blok 12 masing-masing lebar frekuensinya 5 MHz sedangkan nomor blok 13 dan nomor blok 14 masing-masing lebar frekuensinya 15 MHz dan nomor blok 15 lebar frekuensinya 10 MHz. Pada blok 13 dan 14 ini telah digunakan untuk layanan WiMAX yang telah dilakukan tender untuk beberapa wilayah regional.

 

Pita Frekuensi 2600 MHz.

Pada gambar dibawah ini menunjukkan kondisi pita frekuensi 2600 MHz. Pita ini digunakan untuk layanan broadcasting service satelite (BSS) yang dilaksanakan oleh Indovision dan terdapat alokasi untuk layanan BWA. Lebar pita untuk frekuensi ini secara keseluruhan adalah 184 MHz. Total lebar pita tersebut terbagi yaitu pada pita frekuensi 2520 – 2670 MHz (150 MHz) digunakan untuk penyelenggaraan infrastruktur telekomunikasi bagi layanan penyiaran berbayar melalui satelit Indostar II yang dilaksanakan oleh MNC Sky Vision dan pada pita 2500 – 2518 (18 MHz) dan 2670 – 2686 MHz (16 MHz) digunakan untuk keperluan BWA.


Penulis,
Satrio Hendartono
g3rry_satrio@yahoo.com
 

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger