Monday, December 10, 2012

GALAU


Di Tengah Perubahan MODEL BISNIS

oleh: Dewi Asri TP (2012)

Dalam era data/internet, para operator domain telekomunikasi selular tentu saja mulai memfokuskan bisnis dan layanannya pada data, yang semula hanya sebagai salah satu value added service (VAS) hingga kemudian menjadi bagian core business para operator. Sayangnya pada era data ini, sepertinya operator harus berbagi “kue” revenue dengan “banyak pemain lain” di luar domain telekomunikasi. Kemungkinan nilai yang didapatkan tidak akan sebesar saat era voice dan SMS masih mendominasi layanan telekomunikasi. Tetapi pertumbuhan pendapatan terus tertekan.

Hal ini sepertinya menimbulkan dampak kepada para insan telekomunikasi baik langsung maupun tidak langsung.

Mengapa ketika voice dan SMS mendominasi, revenue operator relatif besar? Karena pada era tersebut operator telekomunikasi mendapatkan revenue dari dua hal utama yaitu jaringan dan layanan (services). Hal ini karena operator bertindak sebagai penyedia jaringan dan penyedia layanan sekaligus.

Namun di era data, peran operator telekomunikasi tersebut tidak lagi bersifat “monopoli” walau masih mendominasi. Memang melalui jaringan, operator juga menyediakan layanan data namun baru sebatas koneksi ke dunia internet saja dan biasa disebut sebagai dumb pipe. Layanan data yang sesungguhnya masih disediakan dan menjadi peran utama para pemain aplikasi atau OTT (over the top).

Dalam era trend konvergensi antara dunia telekomunikasi, IT/internet dan broadcasting seperti sekarang ini, bisnis yang mendominasi adalah bisnis longtail atau aplikasi dengan model bisnis bersifat open/opensource, berbasis komunitas dan hampir tidak berbayar atau freemium.

Open/opensource adalah bahwa source code atau algoritma aplikasi tidak proprietary dan terbuka untuk umum. Sedangkan berbasis komunitas adalah sebagai akibat dari opensource, dimana karena sifat yang terbuka menjadi pemicu terbentuknya komunitas-komunitas yang akhirnya mengembangkan dan kemudian menggunakan aplikasi tersebut secara massal. Dan yang terakhir adalah gratis atau freemium, dimana para pengguna dapat menggunakan aplikasi tersebut tanpa harus membayar atau hanya akan membayar jika ingin menggunakan aplikasi tersebut pada tingkat manfaat yang lebih tinggi. Ketiga sifat dalam trend bisnis model ini telah dibuktikan dan berhasil dilakukan oleh para raksasa di dunia IT & internet yang ada saat ini seperti Linux, Google, Facebook, Twitter, YouTube hingga Android.

Google Business Model (sumber: www.businessmodelgeneration.com)
Sebenarnya model bisnis yang diterapkan oleh para raksasa di dunia internet ini bukanlah hal yang baru. Model bisnis ini bisa dianalogikan dengan model bisnis broadcasting televisi atau radio yang tidak berbayar. Model bisnis ini tak lekang oleh masa dan tetap bisa survive meski tidak memungut bayaran sepeser pun kepada pelanggan.

Kenapa?

Karena sumber pendapatan utama perusahaan broadcasting tidak berbayar (free to air - FTA) bukanlah dari para pelanggan namun dari pihak ketiga seperti iklan. Pelanggan sebagai komunitas massal dijadikan modal oleh perusahaan broadcasting sebagai ladang bagi perusahaan barang dan jasa yang ingin mengiklankan produknya secara massif. Dan ketika pelanggan ingin mendapatkan layanan siaran yang lebih variatif dan tanpa iklan maka pelanggan dapat memilih broadcasting berbayar yang merupakan bentuk freemium dari bisnis broadcasting.

Model bisnis para raksasa internet dan contoh dari dunia broadcasting tampaknya bisa menjadi solusi bagi kegalauan bisnis di dunia telekomunikasi saat ini. Didasari bahwa komunikasi merupakan kebutuhan dasar manusia yang sampai kapanpun akan selalu ada dan berbekal komunitas pelanggan yang sangat besar yang telah dimiliki, para operator telekomunikasi dapat  mulai bertransformasi menuju model bisnis baru yang berorientasi pada layanan longtail atau aplikasi dan bersifat open, community-based dan free atau freemium.

Operator telekomunikasi perlu mulai fokus mengembangkan sisi aplikasi yang bisa dilakukan dengan beberapa cara seperti membangun in-house software sendiri atau memfasilitasi kompetisi pembuatan aplikasi baru atau dimulai dari bekerjasama dengan aplikasi global yang sudah ada untuk memberikan nilai tambah bagi aplikasi tersebut jika diakses menggunakan jaringan operator tersebut. Aplikasi-aplikasi yang dibangun juga perlu dicermati agar sesuai dengan kebutuhan para pelanggan dan forecast terhadap trend global yang akan terjadi.

Selanjutnya adalah aplikasi atau layanan yang ditawarkan oleh operator telekomunikasi lebih fokus pada komunitas pelanggan yang ingin disasar. Ketika suatu layanan atau aplikasi sudah menjadi bagian dari komunitas maka layanan atau aplikasi tersebut akan terus digunakan dan menjadi bagian tidak terpisahkan. Melalui komunitas juga keberlanjutan suatu layanan atau aplikasi dapat terjaga dan berlangsung lebih lama. Selain dalam konteks pengguna atau pelanggan, komunitas juga perlu dibentuk dalam konteks pengembangan layanan dan aplikasi seperti kerjasama dengan developer, insititusi pendidikan dan lembaga riset lainnya.

Dan yang terakhir adalah sifat free atau freemium.

Untuk melakukan hal ini operator telekomunikasi harus mampu melakukan segmentasi dan profiling seluruh pelanggannya dan membangun korelasi antara profil pelanggan dan kebutuhannya. Profiling dan korelasi memang cukup rumit dan bukan pekerjaan yang mudah karena hingga sekarang belum ada operator telekomunikasi yang benar-benar sukses melakukannya. Namun hal ini bukan sesuatu yang mustahil karena sudah berhasil dilakukan oleh para raksasa internet seperti Google dan Facebook yang memiliki jumlah pengguna yang sangat besar hingga mencapai angka 1 milyar pengguna dan berhasil menempatkan iklan atau promosi yang sesuai dengan segmen, profil dan kebutuhan para penggunanya.

Lebih lanjut, untuk aplikasi dan layanan yang lebih advanced atau dengan kualitas yang lebih baik dan terjamin serta bebas dari iklan, operator telekomunikasi dapat menawarkan layanan dan aplikasi yang berbayar (premium). Diharapkan dengan melakukan beberapa hal tersebut, operator dapat mentransformasi model bisnis-nya sehingga dapat tetap survive di era data  dengan pertumbuhan revenue yang sama tinggi seperti pada masa voice dan SMS.

Sekian.
++

PEMIKIRAN ANGKATAN BERIKUTNYA (MT-2013)

oleh: Enov Tikupasang dan kawan-kawan

Model bisnis telekomunikasi harus berubah. 
Implementasi jaringan packet switching oleh operator telekomunikasi ternyata membawa dampak yang sangat serius dan seperti tidak pernah terfikirkan sebelumnya. 
Penurunan pendapatan terjadi di saat traffic meningkat
Hal ini sulit dimengerti jika kita berpijak pada konsep jaringan circuit switching dan bisnis model konvensioal.
Akibatnya EBITDA operator terus tertekan tetapi operator tetap melakukan investasi baru secara besar-besaran.
Keberlanjutan usaha operator telekomunikasi menjadi isu sentral di tengah perubahan ini.
Secara teori, apa saja yang mungkin terjadi jika ini tidak diantisipasi dengan baik sejak sekarang?

BAHAN DISKUSI 2014

  1. Apa yang sebenarnya terjadi? Dalam hal ini mengapa PS bisa merubah model bisnis konvensional CS ? 
  2. Apakah gejala ini hanya terjadi di Indonesia atau di seluruh dunia? 
  3. Mengapa situasi ini tidak terbaca sebelumnya? 
  4. Sejauh apa model bisnis operator harus berubah? Apa dampaknya bagi karyawan? Siapa saja yang diuntungkan? Bagaimana mengetahui bisnis model yang dipilih sudah benar? 
  5. Apa betul penggunaan biofuel dapat menurunkan efek rumah kaca dan menurunkan biaya energi? Jika harus menulis ulang Peraturan Presiden di atas, hal apa saja yang harus diperhatikan?
++

Wednesday, December 5, 2012

STUDI KASUS #6: Pokok-pokok PEMIKIRAN


DALAM PERANCANGAN RENCANA UNDANG-UNDANG SEKTOR TELEKOMUNIKASI

oleh: Djamhari Sirat

Bergabungnya Indonesia ke dalam organisasi WTO (World Trade Organization) turut mendorong lahirnya Undang-undang Nomor36 Tahun 1999 menggantikan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi di Indonesia. UU 36/1999. Undang-undang ini menghapus hak monopoli yang diberikan kepada badan usaha tertentu dan mendorong terbentuknya iklim persaingan bebas di sektor telekomunikasi Indonesia. Pemerintah mengikuti kesepakatan dengan WTO dan melepas peranannya sebagai pengelola kepada Swasta.

Implikasinya memang cukup fenomenal bagi pertumbuhan telekomunikasi Indonesia. Diantara keberhasilan UU 36 /1999 yang mengemuka diantaranya adalah pertumbuhan pelanggan telepon di Indonesia (Gambar 1) paska diberlakukannya UU 36/1999.

Gambar 1. Perkembangan Teledensitas di Indonesia (sumber: Depkominfo)

Namun seiring dengan pesatnya perkembangan dan kemajuan di bidang teknologi informasi mendorong terciptanya iklim konvergensi pada berbagai sektor termasuk sektor telekomunikasi. Namun, perubahan yang dibawa kali ini diperkirakan bersifat struktural dan tidak sektoral (di luar domain telekomunikasi) seperti yang terjadi sebelumnya.

Pada era konvergensi akan terjadi penyatuan layanan dari 3 (tiga) bidang yang selama ini masih berjalan sendiri-sendiri (Gambar 2).

Gambar 2. Pusaran Konvergensi
Hasil penyatuan ini tentunya akan membentuk model bisnis dan proses bisnis baru yang perlu dikenali dan dipetimbangkan dengan matang sebelum perubahan undang-undang dilakukan. Ketidakhati-hatian pada tahap ini dapat mengganggu keunggulan kompetitif Negara di masa depan dalam waktu yang lama.

Gambar 3 menunjukkan sejumlah trend yang mungkin saja terjadi pada industri telekomunikasinya di berbagai negara saat ini.

Gambar 3. Sejumlah Trend Yang Mungkin Terjadi Saat Ini

Tugas

Tugas mahasiswa pada studi kasus kali ini adalah menemukan pokok-pokok pemikiran yang menurutnya perlu diperhatikan dalam penyusunan Rencana Undang-Undang Konvergensi. Ketentuan yang berlaku adalah sebagai berikut:
  1. Bersifat individu.
  2. Setiap mahasiswa menyampaikan paling sedikit sebuah pokok pemikirannya yang unik – harus berbeda dengan mahasiswa yang lain.
  3. Duplikasi atau kemiripan dengan sebelumnya dianggap bukan kontribusi sehingga tidak mendapatkan penilaian (teridentifikasi dari waktu posting).
  4. Pokok-pokok pemikiran disampaikan pada platform yang telah disediakan diwajibkan menjawab pertanyaan yang muncul.
  5. Tahap ini berlangsung selama 2 (dua) minggu sejak tugas ini diberikan dan diakhiri dengan penyusunan makalah yang dikumpulkan 1 (satu) minggu setelah jadwal UAS berakhir. 
  6. Tema makalah adalah pokok-pokok pemikiran yang relevan untuk RUU Konvergensi di Indonesia. Bahan dapat menggunakan pokok-pokok pemikiran yang telah diidentifikasi bersama pada platform.
  7. Gunakan format baku.

Pemikiran Awal

Dalam studi kasus ini, pokok-pokok pemikiran yang telah kami identifikasi di awal ini adalah:
  1. Keunggulan yang ingin dicapai atau dipertahankan sebagai bangsa (bukan sektoral)
  2. Para stakeholder utama, kepentingan, peluang dan risiko masing-masing
  3. Kekuatan dan kelemahan yang perlu dikelola lebih baik
  4. Arah dari perkembangan teknologi, ekonomi, sosial, budaya, dan politik.
  5. Pengalaman negara-negara sahabat yang berupa tindaklanjut dari pelaksanaan undang-undang konvergensi di negaranya masing-masing (kembangkan dari Tugas #5)
  6. Ruang lingkup regulasi itu sendiri.

Selamat bekerja dan berkontribusi.



Monday, December 3, 2012

MANTEL dan KESELAMATAN PENERBANGAN


Dari Sisi Flight Information Region (FIR)

oleh: Arian Nurahman (2009)

Pengantar

Indonesia merupakan negara dengan pertumbuhan jumlah penerbangan yang tinggi. Hal ini disampaikan oleh Presiden International Civil Aviation Organization (ICAO), Roberto Kobeh Gonzales, dalam kunjungannya ke Indonesia pada 2011 yang lalu. Dalam CMO (current market outlook), Boeing juga memprediksi pertumbuhan pasar pesawat terbang dunia hingga 20 tahun mendatang (Gambar 1). Arus penerbangan komersial diperkirakan akan tumbuh sebesar 5% tiap tahun dan arus kargo udara tumbuh lebih besar yaitu 5,2% per tahun.

Gambar 1. Boeing Current Market Outlook

Dalam soal pertumbuhan penerbangan, Indonesia berada di posisi ketiga dunia di setelah China dan India. Dengan pertumbuhan yang sebesar itu faktor keselamatan penerbangan adalah hal nomor satu yang harus ditingkatkan.

Risiko Keselamatan Penerbangan

Diantara risiko keselamatan penerbangan yang terjadi berupa insiden kegagalan pesawat saat landing atau take off, pesawat menabrak gunung, pesawat tabrakan di udara atau landasan pacu, pesawat mendarat di daerah bukan tujuan sebenarnya (alias salah kamar), pesawat jatuh, hambatan meteorologi penerbangan (cuaca, awan cb/cumulonimbus, awan abu vulkanik, dan wind sheare) hingga keterlambatan dari jadwal penerbangan baik untuk keberangkatan maupun kedatangan.

Untuk menjamin keselamatan penerbangan organisasi penerbangan sipil dunia, ICAO, mensyaratkan setiap Negara untuk menyelenggarakan layanan navigasi penerbangan di atas wilayah udaranya. Salah satu bentuk layanan tersebut berupa Flight Information Region atau dikenal dengan FIR yang merupakan salah satu komponen pelayanan aeronautika (pelayanan jasa penerbangan) dengan tarif yang ditentukan negara masing-masing. Pemerintah Indonesia menetapkan tarif sebesar Rp 875 per rute penerbangan untuk setiap penerbangan dalam negeri dan USD 0,65 per rute penerbangan untuk penerbangan lintas udara Internasional.

Apa itu FIR? 

FIR adalah suatu ruang udara dengan batas batas tertentu yang telah ditentukan, dimana pelayanan informasi penerbangan (flight information service) dan pelayanan siaga (alerting service) diberikan. Pengendalian wilayah udara bersifat horizontal maksudnya adalah peredaran berita dilakukan antar stasiun penerbangan di dalam wilayah udara yang ditentukan.

Indonesia memiliki ruang udara seluas 2.219.629 NM persegi dan mengoperasikan 2 (dua) wilayah FIR yaitu FIR Jakarta dan FIR Makassar dan masih dibantu oleh FIR Singapura untuk ruang udara sektor a, b dan c (wilayah diatas Batam, Matak, dan Natuna). Konfigurasi FIR selengkapnya pada Gambar 2 di bawah ini.

Gambar 2. Konfigurasi FIR di wilayah udara Indonesia dan sekitarnya

Pada penerapannya, FIR memiliki unit-unit ATS (air traffic service) yang bernaung di bawahnya dan terintegrasi dalam sebuah jaringan yang terdiri dari communication centre station, sub communication station, dan tributary station.

Jaringan Komunikasi Data Penerbangan 

Disebut dengan AFTN (aeronautical fixed telecomunication network) dengan menggunakan VSAT sebagai media transmisinya selain menggunakan radio HF Data Link dan HF voice. Media transmisi ini terpasang di masing-masing bandara dan pengaturan ditentukan berdasarkan jumlah penerbangan, waktu penerbangan dan kondisi lapisan ionosfir setempat. Selain itu, untuk menjalankan fungsinya AFTN juga memanfaatkan Teleprinter dan AMSC (automatic message switching system).

Berita yang Beredar

Pada FIR berita berita yang beredar antara lain adalah flight plan, meteorologi penerbangan, NOTAM (notice to air man), dan data bandara. Flight plan adalah rencana penerbangan yang diisi oleh kapten penerbang (atau yang didelegasikan) yang berisi informasi nama penerbangan, jenis pesawat udara (tipe, ukuran, dan kemampuan jelajah), rute yang dituju (jalur yang akan dilalui) ketinggian yang diminta, kelengkapan avionic (aviation electronic) yang tersedia di pesawat (fasilitas kokpit), dan informasi lainnya yang terkait dengan pesawat udara.

Meteorologi penerbangan dalam lingkup FIR merupakan penyebaran berita meteorologi yang diterima dari stasiun meteorologi yang ada di bandara untuk kemudian disampaikan dan disebarkan melalui AFTN. Berita berita meteorologi tersebut antara lain adalah arah dan kecepatan angin (wind speed and direction), kelembaban (dew point), jarak pandang (visibility), awan, awan abu vulkanik (volcanic ash cloud), dan berita meteo penting lainnya.

NOTAM (notice to air man) merupakan bentuk pelayanan siaga yang diberikan terkait dengn kondisi suatu bandar udara seluruh stasiun penerbangan (bandar udara). Termasuk dalam NOTAM antara lain pelaporan siaga (apabila terjadi sesuatu yang tidak diharapkan oleh pesawat udara), perintah larangan terbang (bila ada kejadian khusus, penerbangan VVIP), dan kondisi fasilitas yang sedang dikalibrasi atau perawatan.

Data Bandara yang dimaksud adalah terkait dengan prosedur yang akan dipakai untuk maneuver pesawat udara (naik dan turun pesawat) seperti fasilitas pendaratan yang dipakai, landasan yang digunakan (runway in use), titik tunggu (holding point), dan prosedur lainnya.

Perkembangan Baru

Layanan navigasi penerbangan Indonesia saat ini masih menggunakan teknologi analog dan suara (voice), baik yang horizontal (ground to ground) maupun vertikal (ground to air). Bagi layanan navigasi penerbangan, pada saat ini proses penggantian faslitas FIR Jakarta dan FIR Makassar sedang berlangsung yang memandai dimulainya era layanan data digital bagi layanan navigasi penerbangan yang terintegrasi di tanah air (Gambar 3).
Gambar 3. Konfigurasi Airport Surface Communication Systems

Selain itu informasi FIR juga akan terintegrasi dengan layanan informasi penumpang atau calon pemumpang di terminal-terminal bandar udara. sehingga pengguna jasa akan mengetahui secara lebih akurat jadwal penerbangan dan penyebab keterlambatan melalui layar FIDS (flight information display system). Fasilitas ini akan terintegrasi ke dalam satu sistem yang disebut “airport communication system”.

Bagi para penumpang, hal ini akan menjadi tonggak dimulainya layanan data digital pada dunia penerbangan tanah air. Selanjutnya ini akan membuka penyediaan layanan data selama penerbangan dengan tetap mematuhiketentuan-ketentuan tentang keselamatan penerbangan pada domain penerbangan sipil.

Sekian.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger