Siapa yang tidak kenal Raffi Ahmad, Jessica Iskandar atau Nikita Willy. Wajah yang ganteng dan cantik itu hampir setiap hari mengisi ruang kaca televisi Indonesia. Kehadiran mereka, membuat dunia TV identik dengan kesan indah, glamour, dan eksklusif. Tidak heran jika bagi sebagian besar pemirsa Indonesia yang menilai TV adalah bisnis mewah. TV bisa membuat sesorang yang tidak punya menjadi memiliki segalanya seperti yang dialami comedian Olga Syahputra dan Sule. Itu sebabnya banyak orang yang memiliki mimpi untuk bisa masuk menjadi artis di TV. Bahkan bagi pengusaha memiliki stasiun TV adalah mimpi bisnis mereka. Tetapi benarkah binis TV sekinclong tampilan para artisnya?
Perusahaan riset bisnis media yaitu Media Partners Asia pernah melakukan penelitian pertumbuhan pendapatan bersih iklan bagi media TV Free To Air (FTA) yang akan terus turun sampai tahun 2015 seperti terlihat pada Gambar 1. Bagi televisi Free To Air (FTA) turunnya pertumbuhan iklan berarti sebuah gerbang kematian. TV FTA mengandalkan iklan sebagai satu-satunya pemasukan.
Perusahaan riset media TV AGB Nielsen menyebutkan rendahnya pertumbuhan pendapatan bersih iklan ini terjadi akibat jumlah pemirsa televisi FTA terutama pada SES A yang selama ini dijadikan target pembeli consumer product sudah jauh menurun hingga 60 %, seperti terlihat pada Gambar 2. Berdasarkan klasifikasi perusahaan riset media AGB Nielsen, SES A adalah kategori pemirsa televisi yang memiliki kemampuan daya beli lebih dari Rp 2.500.000 per bulan.
Pengambilalihan kepemilikan yang terjadi pada Indosiar menjadi tanda awal ancaman turunnya bisnis TV FTA di Indonesia. Sebagai penyelamat sementara dari ancaman turunnya pendapatan, Stasiun TV FTA di Indonesia melakukan efisiensi besar-besaran. Efisiensi dimulai dari biaya pembuatan program televisi. Di dunia penyiaran, biaya pembuatan program televisi bisa dimulai dari angka 0 sampai tak terhingga. Guna menekan biaya produksi biasanya stasiun televisi memlih program yangberbiaya termurah, contohnya program yang berbasis dari situs video youtube. Program tersebut berbiaya murah karena tidak ada biaya filming atau shooting. Namun program seperti ini berisiko tuntutan hukum dari pemilik video.
Gambar 1. Pertumbuhan pendapatan bersih iklan di FTA di Indonesia [1]
Hasil riset lanjutan AGB Nielsen menujukkan adanya perubahan perilaku pemirsa SES A dengan adanya internet. Kebutuhan akan informasi dimana saja dan kapan saja, telah membuat pemirsa SES A tidak lagi menyaksikan televisi sebagai sumber berita utama dan sekarang beralih ke internet. Bagi industri penyiaran, perubahan perilaku ini perlu diantisipasi dengan ikut memasuki dunia internet atau bersatu menjadi konvergensi.
Efisiensi…Efisiensi… dan Efisiensi…
Bagaimana realitas pendapatan iklan televisi FTA? Dari 3 perusahaan media yang sudah mencatatkan diri di Bursa Efek Indonesia yaitu SCM (Holding Company SCTV), MNC (Holding Company RCTI. MNC dan Global) serta IVM (Indosiar) pendapatan iklan yang mereka perolelh hampir mengikuti prediksi MPA. Gambar 3 memperlihatkan pendapatan ketiganya di tahun 2011 yang pertumbuhannya masih berada diatas 10 persen. Hanya Indosiar saja yang pertumbuhannya di bawah 10 persen. Indosiar kini sudah diakuisisi oleh SCM yang juga pemilik SCTV.
Gambar 3. Pendapatan kotor TV FTA [2]
Efisiensi yang berbeda dilakukan sebuah stasiun televisi di kawasan mampang. Perusahaan tersebut mulai melakukan lay off terhadap pegawainya, meski tidak dalam status merugi ataupun berkurangnya pendapatan iklan. Antisipasi turunnya pendapatan nampaknya sudah diantisipasi stasiun televisi tersebut. Langkah serupa juga nampaknya akan diikuti sejumlah stasiun TV lain. Jika yang untung dan besar saja melakukan efisiensi termasuk berani lay off mengapa yang kecil tidak. Jadi siap-siap saja melihat beragam strategi efisiensi stasiun TV FTA Indonesia agar tetap kiclong di layar kaca.
Referensi :
[1] "_____”, “Indonesian Ad Market One Of The Best Asian Performers In 2010”, Media Partners Asia, Survey, diakses pada http://www.media-partners-asia.com/mpanews060111.asp
[2] "_____”, “Laporan Keuangan Tahunan”, SCM diakses pada http://www.scm.co.id/show/investor/1.html, INDOSIAR diakses pada http://static.indosiar.com/pdf/investor/ dan MNC diakses pada http://www.mnc.co.id/
Penulis,
Angghi Muliya Ma'mur
angghi.mamur@manajementelekomunikasi.org