Wednesday, November 19, 2014

WebRTC dan RCS

Era Baru Layanan Telekomunikasi

oleh: Adi Kurnia, Azarya Nimrod Juwono Siahaan, Erny A Sylwana, Renni Ekaputri (MT-2013)

Communication is moving to the web.

Apakah web real-time communication (WebRTC) merupakan ancaman baru yang serius bagi operator telekomunikasi? 

Atau apakah dan Rich Communications Services (RCS) keberadaannya justru yang akan mengancam kedigdayaan OTT saat ini?

Atau kedua itu adalah ancaman bagi keduanya sekaligus?

Mari kita coba temukan jawabannya. Dan membuat perkiraan pihak mana yang akan paling tertekan jika hal itu benar.

Tujuan Penulisan

Tujuan dari pennulisan ini adalah sebagai sarana belajar bagi mahasiswa dan membangun awareness terhadap perubahan lingkungan melalui teknologi untuk menarik pengetahuan yang berharga dari artikel dan diskusi yang terjadi.

Pendahuluan

Konsep jaringan CS (circuit switching) sangat berbeda dengan konsep yang dianut jaringan berbasis PS (packet switching). 
CS atau juga disebut dengan jaringan telepon menggunakan konsep closed system sementara PS menerapkan open system
Pada CS, layanan melekat pada jaringan sementara di PS layanan dipisahkan dari jaringan.
Di konsep PS ini siapa saja bisa membuat dan menawarkan layanan apa saja kepada siapa saja di atas jaringan yang digelar operator. 
Muncullah bermacam-macam layanan baru yang inovatif dan dikenal sebagai layanan OTT (over the top). 
Akibatnya kita mengakui produk layanan konvensional milik operator mengalami penurunan nilai di mata para penggunanya.

WebRTC dan RCS

Seiring dengan perkembangan teknologi, proses komunikasi dapat dilakukan melalui teknologi berbasis aplikasi (seperti Skype dan Vonage) dan yang terbaru sekarang dapat dilakukan via web. 
Setiap device dapat melakukan real time communication baik itu voice, video dan transfer data melalui web atau aplikasi mobile. Layanan tersebut dapat melakukan bypass terhadap layanan konvensional pada jaringan telepon.
WebRTC adalah sekumpulan standar dari World Wide Web Consortium (WC3) dan Internet Engineering Task Force (IETF) yang dimulai sejak awal 2011, dimana ia dapat melakukan real-time communication (RTC) dalam web antar browser seperti Chrome, Firefox, dan Opera yang telah mendukung fitur tersebut.
WebRTC memungkinkan user untuk membuat aplikasi dengan HTML5 dan Javascript dan setiap device yang terhubung melalui web (computers, tablets dan smart TV) dapat menjadi media komunikasi.

Temuan Fakta

Operator telekomunikasi yang selama bertahun lamanya masih mengandalkan layanan telephoni sebagai salah satu sumber pendapatan utama mau tak mau harus segera berbenah diri. 
Dengan adanya webRTC yang memiliki kemampuan real-time communication, operator telekomunikasi yang masih berpegang pada bisnis model seperti saat ini akan terancam. 
Revenue yang diperoleh dari service voice dan sms akan semakin tergantikan dengan sendirinya. 
Pelanggan tidak lagi menggunakan layanan mobile operator untuk menikmati existing services, akan tetapi hanya menjadikannya sebagai jalur untuk menikmati layanan berbasis mobile WebRTC. 
Namun, salah satu karakteristik penting dari WebRTC adalah kurangnya signaling layer yang terstandarisasi dimana hal ini diserahkan kepada pihak penyelenggara untuk mensolusikan hal ini. 
Disinilah RCS datang. 
RCS atau Rich Communication Suite sendiri awalnya lahir berdasarkan inisiatif atau konsorsium dari beberapa operator telekomunikasi dan vendor produk telekomunikasi pada Februari 2008 untuk membuat fitur-fitur atau layanan komunikasi yang lebih kaya (rich communication) yang dapat saling beroperasi antar provider (interoperability) dengan berbasis pada standar yang ada.
Dengan RCS, operator telekomunikasi dapat menawarkan berbagai layanan, termasuk layanan voice, video, transfer data, chatting dan lainnya yang terstandarisasi untuk menjamin keandalan dan kualitas dari layanan yang ditawarkan.
Sebelum ini komunikasi juga sudah dapat dilakukan melalui teknologi berbasis aplikasi (Skype & Vonage) dan yang terbaru sekarang komunikasi dapat dilakukan via web (tanpa download aplikasi terlebih dahulu).
WebRTC sudah didukung oleh berbagai peralatan akses. Setiap device dapat melakukan real time communication baik itu voicevideo dan transfer data melalui web atau aplikasi mobile.
WebRTC Capable Device
source: Disruptive Analysis WebRTC Report Update (March 2014)

Berikut ini proyeksi pertumbuhan user pada tahun 2019.

Potential Web Users (ibid)

Opportunities: from Device Centric to Access Centric Solution

Source: trilogy-lte.com
Diagram di atas menunjukkan bahwa dari existing service milik operator, aplikasi OTT yang saat ini ada dan future webRTC, terdapat irisan mengenai opportunity bisnis yang dapat dikembangkan oleh setiap pihak.

  • Operator current service & webRTC: Kekuatan network operator dapat menjadi gateway
  • Operator current service & OTT Apps: Operator dapat mengembangkan aplikasi OTT sendiri agar untuk menghadapi OTT existing
  • Aplikasi OTT & webRTC: Operator dapat bekerjasama sebagai penyedia API dan Toolkit penghubung OTT dan WebRTC bagi developer
Kehadiran WebRTC dapat dianggap sebagai opportunity maupun ancaman bagi bisnis telephoni yang saat ini djalankan oleh operator telekomunikasi. 
Penting untuk digarisbawahi adalah operator telekomunikasi harus dapat menangkap potensi bisnis yang dapat diperoleh dengan hadirnya WebRTC. 
Ini dapat melalui perubahan model bisnis, menghadirkan aplikasi RCS untuk melengkapi WebRTC, ataupun solusi-solusi lainnya.



Friday, February 28, 2014

GALAU 2

Di Tengah Perubahan SUATU ZAMAN

oleh: Djamhari Sirat & Fajardhani

Sequel sebelumnya: GALAU

Kita menyaksikan bahwa kesejahteraan manusia terus meningkat dari waktu ke waktu walau apapun teknologi komunikasi dan informasi yang digunakan.

Sektor telekomunikasi harus menerima kenyataan bahwa secara alamiah biaya transaksi (transaction cost) per unit produk atau jasa dan biaya produksi akan terus turun hingga titik terendahnya jika tidak ada inovasi.

Sementara inovasi dan kreativitas di berbagai bidang didorong oleh perkembangan teknologi di bidang komunikasi dan informasi yang justru menjadi salah satu pemicunya. Lalu bagaimana sebaiknya?


Selain itu, keduanya telah meningkatkan probabilitas terjadinya transaksi, meningkatkan volume dan nilai transaksi pada tingkat tertinggi pada masanya.

Informasi telah menciptakan gelombang dahsyat bagi pengembangan pengetahuan baru; proses penciptaan produk atau layanan baru, proses produksi, dan distribusi berikut proses pembelajaran yang mempercepat seluruh proses, dan menurunkan biaya-biaya pada saat yang bersamaan.
Revolusi informasi telah menyebabkan berbagai sektor melakukan transformasi proses bisnis agar tetap eksis.
Kini gelombang tersebut sedang menerpa diri sektor ini sendiri.

Technology advancement memungkinkan penciptaan layanan-layanan baru yang belum ada sebelumnya pada tingkat harga relatif nol dan mengirim layanan-layanan lama ke dalam kotak komoditas yang kurang bernilai.

Terjadi pertukaran informasi secara bebas yang mempercepat proses pembentukan pengetahuan baru bagi sejumlah orang dan Web 2.0 menjelma sebagai piranti yang menjalankan mekanisme positive feedback bagi diseminasi ilmu dan pengetahuan.
Ini menjadikan ilmu yang dulu hanya dikuasai oleh sebagian kecil sumberdaya di perusahaan atau instansi besar dan tertentu berubah menjadi komoditi yang bebas dipertukarkan. 
Akibat tidak langsungnya adalah tercipta pasar-pasar oligopoli bagi sejumlah produk dan layanan tertentu, termasuk layanan dasar telekomunikasi.
Teori yang diajukan untuk membantu kita memahami fenomena yang terjadi di sektor ini adalah Teori Transaction Cost dan Moore’s Law atau Hukum Moore.

Transaction Cost

Menurut Wikipediatransaction cost dalam ekonomi, disebut sebagai biaya yang timbul akibat berpartisipasi di pasar (the cost of participating in a market). 
Atau biasa juga disebut sebagai biaya yang terkait dengan pertukaran barang atau jasa dan biaya yang dikeluarkan dalam mengatasi ketidaksempurnaan pasar (Business Dictionary).
Biaya transaksi terdiri dari :
  • biaya yang dikeluarkan untuk menemukan pemasok / mitra / pelanggan terbaik (search and information costs),
  • biaya mendapatkan kontrak (bargaining cost),
  • biaya monitoring dan menegakkan pelaksanaan kontrak (policing and enforcement costs). 
Teori biaya transaksi menyatakan bahwa total biaya yang dikeluarkan dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu: 
  1. Biaya transaksi
    Biaya transaksi, atau sering juga disebut sebagai biaya koordinasi, dapat diartikan sebagai semua biaya untuk menghasilkan informasi diperlukan mengkoordinasikan pekerjaan pada proses produksi.
  2. Biaya produksi
    Termasuk biaya produksi adalah biaya material, tenaga kerja atau lainnya pada proses utama yang diperlukan untuk membuat dan mendistribusikan barang atau jasa yang diproduksi
Biaya informasi ini mengalami penurunan dari waktu ke waktu.

Moore’s Law

Penemunya adalah Gordon E. Moore, seorang co-founder dari Intel. 
Hukum Moore ini menggambarkan kekuatan pedorong yang membawa perubahan di abad ke-20 dan ke-21 yaitu: jumlah transistor menjadi dua kali lipat setiap tahun. Pernyataannya ini dapat ditemui pada sebuah publikasi "Cramming more components onto integrated circuits", Electronics Magazine, 19 April 1965.
Teknologi digital kemudian mengikuti hukum Moore dari segi ukuran, biaya, kepadatan dan kecepatan komponen, diantaranya adalah:
  • Transistors per integrated circuit 
  • Power requirements in relation to transistor size 
  • Density at minimum cost per transistor 
  • Hard disk storage cost per unit of information (atau disebut Kryder's Law
  • Network capacity 
  • Pixels per dollar 
Tidak mengherankan jika harga produk-produk teknologi semakin rendah akibat menurunnya biaya-biaya di tengah kapasitas dan kualitas yang meningkat.
Padahal Moore hanya menulis soal kepadatan transistor yang meningkat dua kali setiap tahun dengan biaya minimum.

Implikasi

Tanpa bermaksud mengecilkan faktor-faktor lain, kedua teori tersebut membawa sejumlah implikasi yang besar antara lain bagi: 
  • gaya hidup manusia, 
  • struktur industri, 
  • kelangsungan operasi perusahaan, 
  • validitas regulasi, 
  • penurunan harga produk atau layanan yang cepat, 
  • perubahan yang lebih sulit untuk diperkirakan akibat semakin banyaknya pengambil keputusan atau pemain di pasar, 
  • terbukanya berbagai peluang baru di segala bidang dan aspek kehidupan. 
Lalu bagaimana ini berdampak pada sektor telekomunikasi?

Diskusi Bebas

Di Indonesia, pada awalnya jaringan data berbasis protokol TCP/IP dan layanan jaringannya hanya “dinikmati” oleh sejumlah kalangan dari universitas tertentu. 
Namun ini bukan karena mahalnya
Berlawanan dengan protokol yang mahal dan menguasai pasar saat itu, protokol TCP/IP dirancang menggunakan konsep Open System yang dilandasi oleh semangat kolaborasi yang tinggi di antara sesama pengembangnya alias nyaris gratis. 
Dan kolaborasi ini terjadi dengan berbagai universitas terkemuka secara lintas negara, lintas platform, dan lintas generasi.
Hal ini menjadi nilai dan budaya yang tidak bisa dihentikan oleh arus mainstream saat itu. 
Hampir semua orang dan kalangan bisa mengembangkan layanan baru yang dirasanya perlu.
Para peneliti berbasis TCP/IP saat itu merasakan bahwa perubahan yang dibawa protokol ini sangat besar. 
Layanan-layanan baru tersedia bagi para user di berbagai workstation yang berbeda-beda merek dan sistem operasi dapat dengan mudah dibangun. 
Hal ini adalah suatu yang sangat sulit, jika tidak ingin dikatakan mustahil, bila menggunakan protokol jaringan data proprietary yang menguasai pasar saat itu.
Hubungan pada jaringan online berbasis TCP/IP yang lokasinya berjauhan mulai menjadi isu besar di era 1980-an.
Satu-satunya jaringan komunikasi yang ada saat itu berbasis Circuit Switching (CS) yang jelas menimbulkan biaya sangat tinggi akibat dari bawaan teknologinya. 
Akibatnya berbagai layanan yang murah dan handal di atas jaringan TCP/IP itu sulit sampai ke masyarakat luas
Modem yang bekerja di atas layanan suara adalah piranti yang bisa digunakan dengan izin. 
Keadaan ini berlanjut hingga teknologi GSM pertama diterapkan. Operator layanan suara dan data konvensional menikmati masa emasnya karena relatif tidak ada layanan lain yang bisa dikembangkan jaringan tersebut.

Keadaan berubah ketika jaringan Packet Switching (PS) yang diidam-idamkan digelar. 
Berbagai layanan di atas jaringan TCP/IP membanjiri pasar. 
Pasar bereaksi positif. 
Hukum ekonomi Demand and Supply memainkan perannya dengan baik disini.
Indonesia memasuki era pasar bebas. Unregulated era has come.

Pada awalnya keberadaan berbagai layanan ini tidak terlihat sebagai ancaman. 
Berbagai inovasi yang bisa memberi layanan suara dengan kualitas baik dan berbagai layanan lain yang berbasis data dengan kecepatan tinggi yang mendekati gratis dirasa mulai "mengganggu". 
OTT menjadi musuh bersama tetapi pada saat yang sama diterima baik oleh pasar.
Kedua hukum di atas tadi secara implisit berusaha menjelaskan gangguan yang terjadi terhadap operator penyelenggara layanan telekomunikasi dasar. 
Lalu sekarang sebaiknya bagaimana?

Pertanyaan Diskusi

  1. Dapatkah Anda menemukan fakta yang mendukung atau menyanggah artikel ini? Mohon penjelasan berikut referensi yang digunakan.
     
  2. Tahukah Anda nama institusi dimana “sejumlah kalangan” tersebut di Indonesia bernaung?
  3. Apa yang sebenarnya dimaksud dengan bisnis menjual “dumb pipe”? Mengapa bisnis ini bisa memberi tingkat pengembalian yang tinggi bagi penyelenggaranya saat itu?
  4. Apakah “revolusi” yang terjadi ini akan kembali ke sektor-sektor lain seperti perbankan, manufaktur, jasa, retail layaknya yang terjadi paska merger teknologi informasi dan komunikasi? Mengapa demikian?
  5. Menurut Anda, apa yang sebaiknya dilakukan oleh para pemangku kepentingan saat ini?
Catatan: Nantikan juga sequel berikutnya: Galau 3 
+++



Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger