Kemaren (25 Januari 2011), di salah satu situs berita on-line (detik.com), saya mendapati berita tentang bocornya data pelanggan seluler, tak tanggung-tanggung ditaksir ada 25 juta data pelanggan telekomunikasi di Indonesia yang bocor dan digunakan untuk kepentingan bisnis (contohnya penawaran kartu kredit). Jika kita kilas balik ke belakang, beberapa waktu lalu gerakan untuk menertibkan para pengguna jasa telekomunikasi digelar hampir sebagian besar operator telekomunikasi di Indonesia, baik pengguna kartu prabayar maupun pascabayar. Proses penertipan ini dilakukan dengan cara registrasi melalui SMS, terdapat beberapa pertanyaan yang harus dijawab dan diisi dengan cara membalas SMS tersebut untuk melengkapi proses aktivasi kartu SIM yang kita gunakan. Di negara-negara Eropa dan Amerika, hal seperti ini ternyata sudah lebih dahulu diterapkan. Hal in bukannya tanpa tujuan, sebenarnya banyak manfaat yang diperoleh operator dengan cara ini, antara lain untuk profiling pelanggan sehingga dapat digunakan untuk menyusun berbagai strategi bisnis dan segmentasi jasa telekomunikasi yang ditawarkan. Tetapi jika data tersebut malah disalahgunakan untuk dijual belikan demi kepentingan bisnis lainya, tentunya melanggar hak pelanggan dengan menyebarluaskan data pelanggan tanpa konfirmasi pelanggan terlebih dahulu.
Kerahasiaan data pelanggan merupakan suatu aset yang sangat confidential. Hal tersebut telah diatur dalam UU Telekomunikasi No.36/1999 , bagian kesebelas, mengenai Pengamanan Telekomunikasi (Pasal 38 sampai Pasal 43), dalam UU Telekomunikasi No.36/1999 juga mengatur sanksi administrasi dan pidana bagi pihak yang melanggar. Badan regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) saat ini sedang menyelidiki akar kebocoran data pelanggan tersebut. Tentunya kasus meresahkan seperti ini membutuhkan klarifikasi informasi dan sumber informasi yang dapat dipertanggung jawabkan mengenai dari mana kebocoran ini berasal.
Kasus kebocoran data pelanggan seperti ini merupakan hal yang sensitif bagi pelanggan,hal ini menyangkut etika bisnis. Dalam dunia bisnis, memang tidak bisa dihindari kemungkinan kerjasama dengan pihak / bisnis lain dalam usaha pengembangan dan pertumbuhan bisnis. Alangkah baiknya jika hal tersebut dilakukan secara etis dan legal, sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Jika pihak operator ingin menggunakan data pelanggan untuk kepentingan bisnis yang lain, sebaiknya saat pelanggan diminta mengisi data-data pribadinya perlu ada persetujuan dari pelanggan yang bersangkutan bahwa ia bersedia datanya digunakan untuk keperntingan lain (dengan menyebutkan pula kepentingannya untuk apa). Memang operator tidak bisa disalahkan begitu saja, setiap operator pasti memiliki mekanisme penjaminan kerahasiaan data pelanggan dan sistem audit dan kontrol yang ketat. Peraturan perundang-undangan juga telah dibuat untuk mengantisipasi terjadinya hal-hal semacam ini dan melindungi hak pelanggan. Bukan hal yg mustahil menjalin kerjasama lintas bidang dilakukan untuk saling menjembatani kepentingan bisnis masing-masing entitasnya, jika dilakukan dengan benar tentunya. Dalam hal ini, walaupun operator sebagai pemilik data pelanggan dinilai sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas data pelanggan, kita juga tidak bisa menutup kemungkinan bocornya data pelanggan tersebut bukan dari operator. Semakin canggih teknologi informasi saat ini berimplikasi pula pada kerentanan informasi yang kita simpan.
Jika suatu usaha diawali dengan niat baik dan disertai dengan cara yang legal tentunya hasil yang diperoleh tidak hanya akan memberikan manfaat jangka pendek bagi perusahaan tersebut, tapi juga manfaat jangka panjang berupa loyalitas dan kepercayaan dari pelanggan. Dalam dunia bisnis, etika berbisnis merupakan komponen yang penting dan merupakan investasi jangka panjang yang secara tidak langsung menjaga hubungan baik antara produsen dan konsumen.
Penulis,
Nurmaya Widuri
nurmaya.widuri@gmail.com
@maewiduri