Lahirnya Undang-Undang (UU) No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi sebagai pengganti UU No. 3 Tahun 1989 bukannya tanpa alasan. Mencuatnya pandangan bahwa regulasi yang ada saat itu dinilai sudah tidak memadai lagi merupakan titik awal dilakukannya peninjauan kembali terhadap UU No. 3 Tahun 1989, dimana salah satu hasil utamanya adalah dihapuskannya sistem penyelenggaraan telekomunikasi yang bersifat monopolistik. Namun lahirnya UU No. 36 Tahun 1999 pun tidak membuat masalah di sektor telekomunikasi berhenti. Saat ini terdapat banyak indikasi akan perlunya UU tersebut untuk direvisi. Perbandingan yang dapat diketahui secara ringkas terkait kedua UU tentang telekomunikasi tersebut dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut :
Sumber : UU Telekomunikasi No.3 Tahun 1989 dan UU No.36 Tahun 1999
Laporan ini berusaha menginventarisasi faktor-faktor yang mendorong lahirnya UU No. 36 Tahun 1999, membuat analisa kebijakan pada UU No. 36 Tahun 1999 terkait dengan model bisnis baru serta memberikan saran yang relevan terkait dengan perubahan tersebut.
Permasalahan yang Ingin Dijawab
Laporan Akhir ini mencoba menjawab beberapa permasalahan mengenai perubahan UU Telekomunikasi, yaitu:
1. Mencari fakta pemicu lahirnya UU No. 36 Tahun 1999;
2. Melakukan analisis untuk menilai keterbatasan UU No. 36 Tahun 1999 saat ini sesuai dengan tema ICT Outlook 2012; dan
3. Menyusun kesimpulan dan saran yang dapat diterapkan
Dasar Teori
Laporan ini menggunakan model analisis kebijakan Weimer-Vining dengan kerangka berikut.
Model Analisis Kebijakan Weimer-Vining
Analisa
Pemicu Lahirnya UU No. 36 Tahun 1999
Menurut beberapa sumber, faktor yang memicu lahirnya UU No. Tahun 1999 adalah:
1. Perubahan teknologi;
2. Krisis Ekonomi, Sosial dan Politik; serta
3. Dominasi pemerintah dalam penyelenggaraan telekomunikasi dan proyek Nusantara21;
4. Perubahan nilai layanan telekomunikasi dari barang publik menjadi komoditas;
5. Teledensity rendah;
6. Masuknya modal asing di sektor telekomunikasi;
7. Keterbatasan penyelenggara pada era monopoli dalam hal pembangunan infrastruktur;
8. Pergeseran paradigma perekonomian dunia, dari masyarakat industri menjadi masyarakat informasi;
9. Praktik bisnis yang tidak sehat di sektor telekomunikasi; dan
10.Kurangnya sumber daya manusia di sektor telekomunikasi.
Keterbatasan UU No. 36 Tahun 1999 saat ini
Untuk mengidentifikasi permasalahan, Weimer-Vining menawarkan penggunaan pohon keputusan dengan model berikut:
“Pohon Keputusan” Analisis UU No. 36 Tahun 1999 Saat Ini
Dalam kasus yang menjadi tema utama ICT Outlook 2012, beberapa variable diperlukan dalam menggunakan model “pohon keputusan” tersebut antara lain ARPU operator dan revenue OTT dan teledensitas [1] , perkembangan teknologi [2] serta regulasi. Ketiga variabel tersebut apabila diimplementasikan ke dalam “pohon keputusan” akan menghasilkan skema berikut
Hasil dari penggunaan “pohon keputusan” diketahui bahwa terjadi market failure dan goverment failure di mana saran yang sesuai adalah menemukan kebijakan yang unggul dan membandingkan cost dari implementasi kebijakan tersebut terhadap market failure. Indikasi dari market failure terlihat dari ARPU operator yang kian menurun. Hal ini berbanding terbalik dengan peningkatan teledensitas dan revenue bisnis OTT yang terus terjadi. Sementara itu, pemerintah juga turut serta memberikan warna terhadap fenomena market failure. Government failure yang terjadi disebabkan oleh kegagalan pemerintah dalam mengantisipasi perkembangan teknologi.
Perkembangan teknologi, seperti teknologi IMS, dapat merubah model bisnis telekomunikasi secara keseluruhan. Sebagai contoh, sebuah pelang gan dapat membeli atau menyewa infrastruktur dari sebuah penyelenggara dan berlangganan sebuah atau beberapa layanan kepada penyelenggara lainnya. Hal ini tentunya dapat menyebabkan model bisnis yang tadinya berupa intergrasi vertikal, dimana penyelenggara menguasai bisnis dari hulu ke hilir, berubah menjadi integrasi horisontal untuk mereduksi CAPEX dan TCO serta mengoptimalisasi OPEX sehing ga penyeleng gara dapat bersaing dalam sistem kompetisi penuh. Selain disebabkan oleh market failure, kegagalan regulasi dalam mengadopsi perubahan model bisnis juga menjadi sebab utama dalam perma salahan ini. UU No. 36 Tahun 1999 ga gal mendefinisikan dengan jelas batasan dan jenis jasa telekomunikasi sehingga banyak bisnis OTT yang menjamur dengan menumpang “secara gratis” kepada pelenggara jaringan telekomunikasi.
Kesimpulan
Dalam laporan awal ini disampaikan sebuah kesimpulan, yaitu terjadi perulangan fenomena antara yang terjadi di jaman UU No. 3 Tahun 1989 dan UU No. 36 Tahun 1999 yaitu ketidakmampuan regulasi dalam mengadopsi perkembangan teknologi dan pergeseran model bisnis telekomunikasi.
Saran
Dalam laporan awal ini disampaikan beberapa saran, yaitu:
1. Diperlukannya sebuah regulasi baru yang dapat mengadopsi model bisnis baru di sektor telekomunikasi yang memisahkan antara layer layanan dan infrastruktur sehingga sebuah penyelenggara dapat mereduksi TCO serta bersaing dan bersimbiosis mutualisme dengan jenis penyelenggara layanan baru; dan
2. Diperlukannya sebuah model interaksi dalam regulasi untuk mengatur mekanisme interaksi antar penyelenggara telekomunikasi, baik itu penyelenggara layanan maupun infrastruktur. Sehingga terdapat mekanisme bisnis yang sehat antar penyelenggara telekomunikasi.
Penulis,
Kelompok 7
Referensi :
1 Data ARPU bersumber dari http://mtel.mercubuana.ac.id/wp-content/uploads/2010/09/paper04.pdf
2 Perkembangan teknologi yang dimaksud adalah perkembangan teknologi yang berkaitan dengan konvergensi
TIK, antara lain adalah teknologi IMS (IP Multimedia Subsystem) yang bersumber dari http://www.rennes.enst-bretagne.fr/~gbertran/files/IMS_an_overview.pdf)
Penggunaan dasar Weimer-Vening cukup menarik, apakah teori ini pernah dipergunakan oleh negara lain?
ReplyDeleteKalau dikatakan Government failure secara keseluruhan sy pribadi kurang sepakat :
ReplyDelete1. Undang-undang TIDAK PERNAH salah, dalam kasus ini UU 36/1999 tidak pernah salah, kenapa? karena UU tersebut sudah memayungi keseluruhan wants and need dari masing-masing actors, hanya dikarenakan perkembangan kasus yg sedemikian cepat saja yg mengakibatkan "tertinggalnya" UU 36 tersebut dengan kondisi sekarang.
2. Perlu di lihat juga keikutsertaan DPR dalam keikutsertaan sektor tel ini, pemerintah dan DPR tentu lembaga yg berbeda, kebijakan pemerintah dan kebijakan DPR perlu di telusuri, apakah failure ini sepenuhnya kesalahan pemerintah atau ada "cannibal demands" dari DPR
3. Semangat pemerintah utk terus memajukan negara Indonesia ini, tentu saja ada dalam UU 36/1999 sebagaimana termaktub dalam UU Dasar 1945, semua sumber daya berhak digunakan UNTUK sebesar2 kemakmuran rakyat.
Jadi, perlu menganalisa secara detail, apakah ini murni failure dari Kominfo, atau sebenarnya ada keterkaitan instansi lain atau bisa saja actor lain (diluar pandangan politik tentunya)
Terima kasih.
Salam,
Bangsawan.
Dear rekan, saya tidak mengerti mengapa dikatakan pada kesimpulan disebutkan terjadi perulangan fenomena seperti tahun 1989 namun tidak dijelaskan kondisi tahun tersebut. & menurut saya undang2 tahun 1989 tetap lebih baik karena dengan memonopoli sektor telekomunikasi oleh pemerintah, maka pemasukkan negara akan jauh lebih besar. Perubahan teknologi juga bisa kita siasati dengan memakai vendor sebagai support, namun tidak membebaskan pihak asing mendirikan operator. Pada akhirnya terjadilah 'reformasi kebablasan', dimana operator nasional yaitu indosat & telkomsel diasingkan. Sekarang? Mana kebanggaan kita di sektor telko nasional, apakah dari telkom dengan PSTNnya? Semoga jiwa nasionalis kita tidak terganggu oleh invansi negara luar, kita rebut kembali telkomsel serta indosat secara penuh, & jadikan sektor telekomunikasi sebagai suri tauladan bagi sektor2 lainnya dalam menciptakan sistem perindustrian yang nasionalis.
ReplyDeleteIni kan baru menyusun identifikasi masalah.. Klo mau merumuskan solusi.. Pake teori camparasi yg kmrn dijelaskan.. Boleh di share temen2 kel 3??
ReplyDeleteKalau dikatakan Government failure secara keseluruhan sy pribadi kurang sepakat :
ReplyDelete1. Undang-undang TIDAK PERNAH salah, dalam kasus ini UU 36/1999 tidak pernah salah, kenapa? karena UU tersebut sudah memayungi keseluruhan wants and need dari masing-masing actors, hanya dikarenakan perkembangan kasus yg sedemikian cepat saja yg mengakibatkan "tertinggalnya" UU 36 tersebut dengan kondisi sekarang.
2. Perlu di lihat juga keikutsertaan DPR dalam keikutsertaan sektor tel ini, pemerintah dan DPR tentu lembaga yg berbeda, kebijakan pemerintah dan kebijakan DPR perlu di telusuri, apakah failure ini sepenuhnya kesalahan pemerintah atau ada "cannibal demands" dari DPR
3. Semangat pemerintah utk terus memajukan negara Indonesia ini, tentu saja ada dalam UU 36/1999 sebagaimana termaktub dalam UU Dasar 1945, semua sumber daya berhak digunakan UNTUK sebesar2 kemakmuran rakyat.
Jadi, perlu menganalisa secara detail, apakah ini murni failure dari Kominfo, atau sebenarnya ada keterkaitan instansi lain atau bisa saja actor lain (diluar pandangan politik tentunya)
Terima kasih.
Jika dilihat dari rentang waktu antara UU No.36 Tahun 1999 hingga saat ini sudah sekitar 13 tahun. Yang menjadi pertanyaan adalah mulai kapan permasalahan itu terjadi. Perlu dilihat tren kegagalan tersebut mulai kapan terjadi. Perkembangan dunia telekomunikasi sangat pesat dan cepat sehingga kegagalan yang terjadi saat ini bukan berarti menunjukkan kegagalan UU yang ada, melainkan antisipasi perubahan yang lambat untuk dilaksanakan.
ReplyDeleteSaya ingin menambahkan sedikit teori yang dapat digunakan utk analisis ini sbb:
ReplyDelete1.Teori George C. Edwards III, lebih ke implementasi kebijakan (sumber daya, disposisi, komunikasi, dan struktur birokrasi)
2. Teori Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier, sama dengan teori pertama lebih kepada implementasi kebijakan, cuman variabel nya aja yg beda, seperti karakteristtik masalah, karakteristik kebijakan atau regulasi, dan lingkungan,
3. Teori Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn, sama dengan 1 dan 2, yaitu kinerja implementasi, variabelnya, standard dan sasaran kebijakan, sumberdaya, komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas, karakteristik agen pelaksana, kondisi sosial, ekonomi dan politik
4. Teori Merilee S. Grindle , implementasi lebih dipengaruhi kepada content of policy nya dan lingkungan implementasinya
5. Teori G Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli, analisa kebijakan implementasi pemerintah yg bersifat desentralisasi, ada empat faktor : kondisi lingkungan, hubungan antar organisasi, resources organisasi, karakteristik pelaksana.
Silahkan kita bersama-sama menganalisis baik disisi UU3/89 maupun UU36/99, dan membuat komparasinya dikaitkan dengan kondisi ekonomi. Thanks.
Seharusnya judulnya 'efektifitas UU 36 menghadapi tantangan saat kini'. Selain itu saya kurang setuju dengan kesimpulan nya, karena menurut saya pengaruh terbesar perubahan dari UU 3/89 ke UU 36/99, karena ada intervensi ekternal setelah Indonesia di gempur krisis 98, IMF sangat berperan timbulnya UU 36 ini. Selain kondisi keuangan negara yang carut marut saat itu, sehingga hasilnya Indosat terjual ke asing (diperbolehkan UU) tahun 2002.
ReplyDeleteJadi inget semester pertama pernah belajar manajemen proyek,,,,,
ReplyDeleteSebelum membuat suatu proyek harus melihat resiko yang kira2 akan dihadapi....
Merubah Undang-Undang itu kan prinsipnya sama dengan membuat sutu proyek,,
Apa waktu merubah undang-undang tersebut melihat resiko yang akan dihadapi kedepannya ?
Thanks.
Zie Zie Zia Sabtama
Dear rekans,
ReplyDeleteDi awal disinggung bahwa undang-undang No. 36/99 perlu direvisi.
Saya pikir tabel perbandingan antara UU No 3/89 dan UU No 36/99 perlu ditambah 1 tabel lagi yang membandingkanya dengan fakta lapangan saat ini sehingga menjadi data lapangan yang dapat menerangkan bahwa memang UU 36/99 ini perlu direvisi. Mengingat bahwa penyelenggaraan telekomunikasi di Indonesia saat ini memasuki babak "free kompetisi dan teknologi netral" makan perlu pengaturan peran pemerintah lebih signifikant lagi. COntohnya : Pada UU 3/89 peran pemerintah sebagai penyelenggara, UU 36/98 perannya berubah menjadi penentu dan pengatur, sedangkan untuk UU yang akan datang perlu ditambahkan peran pemerintah mungkin sebagai pengawas atau wasit atau penindak atau semacamnya.
demikian masukan saya
Menurut pengertian saya pada makalahAnda, model bisnis telekomunikasi yang baru bisa diperoleh sebelum UU dikeluarkan. Bisa tolong dijelaskan, tools apa yang digunakan untuk keperluan tsb. Apakah tools yang Anda sebutkan di makalah dapat digunakan?
ReplyDeleteAss wr wb,
ReplyDeleteMenurut Kami, tools yg telah kami paparkan dalam makalah sdh berjalan (horizontal based) seiring dg antisipasi model bisnis yg lalu (vertical based). Hal ini dpt dilihat dalam skema maupun model bisnis yg diimplementasikan berbasis interkoneksi dmn penyelenggara operator yg lain yg secara norabene merupakan competitor operator telco berubah menjadi mitra bisnis telco dg kerjasama / penyewaan dump pipe yg nantinya akan di resellerkan kembali dlm bentuk model bisnis traffic sensitive maupun non traffic (multimedia dan IP based). Jadi model bisnis seperti yg dimaksud baru bisa berjalan efektif setelah UU No.36.1999 dikeluarkan pemerintah.
Smeoga membantu.
Tks, wassalam
Kalau baca-baca dari internet ada wacana bahwa UU 36 ini akan digantikan oleh UU baru (Konvergensi), karena sudah tidak mengikuti perkembangan zaman, dimana UU tersebut akan digantikan sekaligus melebur dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronika (ITE) no 11 tahun 2008 dan UU Penyiaran nomor 32 tahun 2002, dengan porsi UU Telekomunikasi akan mendominasi.
ReplyDeleteDalam UU no.36/1999 soal penomoran, aturan yang ada belum mengakomodasi perkembangan teknologi berbasis IP, E.164, dan ENUM.
Termasuk mengenai standard QoS (Quality of Service) yang banyak dikorbankan untuk memenuhi iklim kompetisi antar operator telekomunikasi, dan termasuk juga aturan mengenai kompetisi itu sendiri, seperti halnya pentarifan yang mengatur masalah formula tarif saja, tapi tidak memperhatikan faktor biaya yang dikeluarkan (biaya produksi), sehingga beresiko terhadap revenue dan iklim kompetisi antar operator telekomunikasi.
Jakson Sagala