Monday, December 10, 2012

GALAU


Di Tengah Perubahan MODEL BISNIS

oleh: Dewi Asri TP (2012)

Dalam era data/internet, para operator domain telekomunikasi selular tentu saja mulai memfokuskan bisnis dan layanannya pada data, yang semula hanya sebagai salah satu value added service (VAS) hingga kemudian menjadi bagian core business para operator. Sayangnya pada era data ini, sepertinya operator harus berbagi “kue” revenue dengan “banyak pemain lain” di luar domain telekomunikasi. Kemungkinan nilai yang didapatkan tidak akan sebesar saat era voice dan SMS masih mendominasi layanan telekomunikasi. Tetapi pertumbuhan pendapatan terus tertekan.

Hal ini sepertinya menimbulkan dampak kepada para insan telekomunikasi baik langsung maupun tidak langsung.

Mengapa ketika voice dan SMS mendominasi, revenue operator relatif besar? Karena pada era tersebut operator telekomunikasi mendapatkan revenue dari dua hal utama yaitu jaringan dan layanan (services). Hal ini karena operator bertindak sebagai penyedia jaringan dan penyedia layanan sekaligus.

Namun di era data, peran operator telekomunikasi tersebut tidak lagi bersifat “monopoli” walau masih mendominasi. Memang melalui jaringan, operator juga menyediakan layanan data namun baru sebatas koneksi ke dunia internet saja dan biasa disebut sebagai dumb pipe. Layanan data yang sesungguhnya masih disediakan dan menjadi peran utama para pemain aplikasi atau OTT (over the top).

Dalam era trend konvergensi antara dunia telekomunikasi, IT/internet dan broadcasting seperti sekarang ini, bisnis yang mendominasi adalah bisnis longtail atau aplikasi dengan model bisnis bersifat open/opensource, berbasis komunitas dan hampir tidak berbayar atau freemium.

Open/opensource adalah bahwa source code atau algoritma aplikasi tidak proprietary dan terbuka untuk umum. Sedangkan berbasis komunitas adalah sebagai akibat dari opensource, dimana karena sifat yang terbuka menjadi pemicu terbentuknya komunitas-komunitas yang akhirnya mengembangkan dan kemudian menggunakan aplikasi tersebut secara massal. Dan yang terakhir adalah gratis atau freemium, dimana para pengguna dapat menggunakan aplikasi tersebut tanpa harus membayar atau hanya akan membayar jika ingin menggunakan aplikasi tersebut pada tingkat manfaat yang lebih tinggi. Ketiga sifat dalam trend bisnis model ini telah dibuktikan dan berhasil dilakukan oleh para raksasa di dunia IT & internet yang ada saat ini seperti Linux, Google, Facebook, Twitter, YouTube hingga Android.

Google Business Model (sumber: www.businessmodelgeneration.com)
Sebenarnya model bisnis yang diterapkan oleh para raksasa di dunia internet ini bukanlah hal yang baru. Model bisnis ini bisa dianalogikan dengan model bisnis broadcasting televisi atau radio yang tidak berbayar. Model bisnis ini tak lekang oleh masa dan tetap bisa survive meski tidak memungut bayaran sepeser pun kepada pelanggan.

Kenapa?

Karena sumber pendapatan utama perusahaan broadcasting tidak berbayar (free to air - FTA) bukanlah dari para pelanggan namun dari pihak ketiga seperti iklan. Pelanggan sebagai komunitas massal dijadikan modal oleh perusahaan broadcasting sebagai ladang bagi perusahaan barang dan jasa yang ingin mengiklankan produknya secara massif. Dan ketika pelanggan ingin mendapatkan layanan siaran yang lebih variatif dan tanpa iklan maka pelanggan dapat memilih broadcasting berbayar yang merupakan bentuk freemium dari bisnis broadcasting.

Model bisnis para raksasa internet dan contoh dari dunia broadcasting tampaknya bisa menjadi solusi bagi kegalauan bisnis di dunia telekomunikasi saat ini. Didasari bahwa komunikasi merupakan kebutuhan dasar manusia yang sampai kapanpun akan selalu ada dan berbekal komunitas pelanggan yang sangat besar yang telah dimiliki, para operator telekomunikasi dapat  mulai bertransformasi menuju model bisnis baru yang berorientasi pada layanan longtail atau aplikasi dan bersifat open, community-based dan free atau freemium.

Operator telekomunikasi perlu mulai fokus mengembangkan sisi aplikasi yang bisa dilakukan dengan beberapa cara seperti membangun in-house software sendiri atau memfasilitasi kompetisi pembuatan aplikasi baru atau dimulai dari bekerjasama dengan aplikasi global yang sudah ada untuk memberikan nilai tambah bagi aplikasi tersebut jika diakses menggunakan jaringan operator tersebut. Aplikasi-aplikasi yang dibangun juga perlu dicermati agar sesuai dengan kebutuhan para pelanggan dan forecast terhadap trend global yang akan terjadi.

Selanjutnya adalah aplikasi atau layanan yang ditawarkan oleh operator telekomunikasi lebih fokus pada komunitas pelanggan yang ingin disasar. Ketika suatu layanan atau aplikasi sudah menjadi bagian dari komunitas maka layanan atau aplikasi tersebut akan terus digunakan dan menjadi bagian tidak terpisahkan. Melalui komunitas juga keberlanjutan suatu layanan atau aplikasi dapat terjaga dan berlangsung lebih lama. Selain dalam konteks pengguna atau pelanggan, komunitas juga perlu dibentuk dalam konteks pengembangan layanan dan aplikasi seperti kerjasama dengan developer, insititusi pendidikan dan lembaga riset lainnya.

Dan yang terakhir adalah sifat free atau freemium.

Untuk melakukan hal ini operator telekomunikasi harus mampu melakukan segmentasi dan profiling seluruh pelanggannya dan membangun korelasi antara profil pelanggan dan kebutuhannya. Profiling dan korelasi memang cukup rumit dan bukan pekerjaan yang mudah karena hingga sekarang belum ada operator telekomunikasi yang benar-benar sukses melakukannya. Namun hal ini bukan sesuatu yang mustahil karena sudah berhasil dilakukan oleh para raksasa internet seperti Google dan Facebook yang memiliki jumlah pengguna yang sangat besar hingga mencapai angka 1 milyar pengguna dan berhasil menempatkan iklan atau promosi yang sesuai dengan segmen, profil dan kebutuhan para penggunanya.

Lebih lanjut, untuk aplikasi dan layanan yang lebih advanced atau dengan kualitas yang lebih baik dan terjamin serta bebas dari iklan, operator telekomunikasi dapat menawarkan layanan dan aplikasi yang berbayar (premium). Diharapkan dengan melakukan beberapa hal tersebut, operator dapat mentransformasi model bisnis-nya sehingga dapat tetap survive di era data  dengan pertumbuhan revenue yang sama tinggi seperti pada masa voice dan SMS.

Sekian.
++

PEMIKIRAN ANGKATAN BERIKUTNYA (MT-2013)

oleh: Enov Tikupasang dan kawan-kawan

Model bisnis telekomunikasi harus berubah. 
Implementasi jaringan packet switching oleh operator telekomunikasi ternyata membawa dampak yang sangat serius dan seperti tidak pernah terfikirkan sebelumnya. 
Penurunan pendapatan terjadi di saat traffic meningkat
Hal ini sulit dimengerti jika kita berpijak pada konsep jaringan circuit switching dan bisnis model konvensioal.
Akibatnya EBITDA operator terus tertekan tetapi operator tetap melakukan investasi baru secara besar-besaran.
Keberlanjutan usaha operator telekomunikasi menjadi isu sentral di tengah perubahan ini.
Secara teori, apa saja yang mungkin terjadi jika ini tidak diantisipasi dengan baik sejak sekarang?

BAHAN DISKUSI 2014

  1. Apa yang sebenarnya terjadi? Dalam hal ini mengapa PS bisa merubah model bisnis konvensional CS ? 
  2. Apakah gejala ini hanya terjadi di Indonesia atau di seluruh dunia? 
  3. Mengapa situasi ini tidak terbaca sebelumnya? 
  4. Sejauh apa model bisnis operator harus berubah? Apa dampaknya bagi karyawan? Siapa saja yang diuntungkan? Bagaimana mengetahui bisnis model yang dipilih sudah benar? 
  5. Apa betul penggunaan biofuel dapat menurunkan efek rumah kaca dan menurunkan biaya energi? Jika harus menulis ulang Peraturan Presiden di atas, hal apa saja yang harus diperhatikan?
++

Artikel Terkait

35 comments:

  1. Yth Bu Dewi Asri,

    Paparan yang sangat baik untuk menjelaskan kondisi saat ini, namun saya rasa operator tidak perlu ikut-ikutan menjadi pengembang aplikasi. Hal ini akan menyebabkan belanja modal operator akan terpecah, sehingga pada akhirnya mengorbankan kualitas layanan kepada pelanggan.

    Menurut saya, jika memang harus menjadi "pipe" bagi layanan OTT, jadilah "pipe" yang terbaik dari yang baik, fokus kepada penyediaan kualitas jaringan yang handal. Hal ini tampaknya tidak menjadi perhatian oleh semua operator.

    Operator harus memiliki kepercayaan dan idelisme dalam pelayanannya, dunia telekomunikasi akan selalu berubah, keputusan untuk terjun memasuki "red ocean" dengan menjadi pengembang aplikasi, mungkin saja akan berakibat fatal di kemudian hari.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yth Pak Fadil,

      Operator telekomunikasi perlu mulai fokus mengembangkan sisi aplikasi sebagai salah satu upaya meningkatkan revenue operator telco yang pertumbuhannya semakin menurun dan juga melihat trend global yang mengarah ke aplikasi. Pengembangan aplikasi oleh operator bisa dilakukan dengan beberapa cara seperti membangun in-house software sendiri atau memfasilitasi kompetisi pembuatan aplikasi baru atau dimulai dari bekerjasama dengan aplikasi global yang sudah ada untuk memberikan nilai tambah bagi aplikasi tersebut jika diakses menggunakan jaringan operator tersebut. Jika mampu, operator juga dapat mengembangkan environment atau SDK (Software Development Kit) baru yang bersifat open bagi para developer aplikasi mobile agar aplikasi yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan requirement jaringan operator (lebih cepat, tidak membebani signaling, hemat daya, dll).
      Melihat apa yang terjadi saat ini, sepertinya tidak terhindarkan bahwa operator selular juga harus masuk ke ranah aplikasi dan operator-operator besar dunia telah mulai melakukan hal tsb seperti yang baru saja dilakukan 3 operator di Spanyol yang meluncurkan Joyn yang juga segera diadopsi oleh operator-operator di Korea. Transformasi ini suka atau tidak suka sepertinya harus dipersiapkan oleh para operator telco dan agar tidak berakibat fatal maka perlu dibuat strategi migrasi yang matang dan menyeluruh.

      Delete
  2. Ysh Bu Dewi,

    Analogi yang bagus dari Bu Dewi mengenai bisnis model yang ada, namun beberapa hal yang mendasari mengapa bisnis operator telekomunikasi mengenai data berbeda dengan bisnis televisi atau radio broadcasting adalah :

    1.

    Bisnis tv/radio broadcast : ada keharusan bagi pihak ketiga untuk membayar ke stasiun tv/radio jika jasanya ingin dipublikasikan

    Bisnis data : pihak ketiga tidak ada keharusan untuk membayar ke operator jika jasanya ingin dipublikasikan, dia cukup create content lalu publish via content lain, sama sekali tidak butuh operator, tapi operator yang butuh.

    2.

    Bisnis tv/radio broadcast : stasiun tv/radio itu sendiri yang menyebarkan informasi ke publik, pihak ketiga hanya memberikan hal2 yang harus disampaikan, setelah itu dia duduk manis.

    Bisnis data : yang menyampaikan informasi berupa data tetap pihak ketiga itu sendiri, operator hanya perantara tanpa dasadari keberadaannya oleh publik.

    3.

    Bisnis tv/radio broadcast : setiap tv/radio broadcast memiliki rating dan jumlah pelanggan tertentu yang menjadi point utama menarik perhatian pihak ketiga dalam mempublish jasanya.

    Bisnis data : rating operator dalam hal jumlah pelanggan tidak terlalu menarik perhatian pihak ketiga karena yang dilihat masyarakat bukan operatornya, tapi aksesnya.

    Dari ketiga hal tersebut pihak operator punya tantangan yang jauh lebih besar daripada tv/radio broadcast. Keberadaan operator yang tidak menjadi prioritas bagi masyarakat saat ini perlu disadari oleh operator itu sendiri agar bisnisnya dapat berjalan. Bagi masyarakat yang dibutuhkan hanyalah akses, tak peduli menggunakan operator yang mana. Setuju dengan statement mas Fadil bahwa operator mesti menjaga kualitas aksesnya agar tidak ditinggalkan oleh pelanggan. Walaupun kurang disadari keberadaannya, operator telco selalu menjadi yang "pintu gerbang" akses informasi ke dunia luar. Hanya saja bagaimana agar "pintu gerbang" tersebut dapat menarik perhatian untuk dilewati.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ysh Pak Rinto,

      Seperti dicontohkan oleh para raksasa dunia internet dan pengalaman dunia broadcasting, bahwa untuk bisa memberikan layanan aplikasi secara gratis ke pelanggan, operator harus mencari sumber keuntungan lain yaitu dari pihak ketiga seperti iklan. Iklan yang dimaksud di sini bukanlah iklan yang ditampilkan di halaman website yang dikunjungi seperti yang sekarang banyak dilakukan oleh pemilik website besar, tapi iklan tersebut muncul dalam aplikasi atau servis milik operator yang digunakan oleh pelanggan. Sebagai contoh, pada aplikasi game yang bisa di-download secara gratis biasanya menyelipkan iklan yang otomatis muncul ketika game sedang dimainkan. Iklan ini tidak hanya dapat muncul di aplikasi game tapi juga dapat dimunculkan di aplikasi dan juga servis lain yang telah dimiliki operator seperti voice dan message. Untuk bisa memberikan iklan yang tepat sasaran sesuai dengan kebutuhan pelanggan, operator harus mampu melakukan segmentasi dan profiling seluruh pelanggannya dan membangun korelasi antara profil pelanggan dan kebutuhannya. Profil pelanggan merupakan hal terpenting yang harus dimanfaatkan secara maksimal namun tetap dengan jalan yang legal oleh operator telekomunikasi. Pelanggan beserta segmen dan profilnya merupakan aset terbesar para operator telekomunikasi untuk menawarkan pasar baru bagi para perusahaan barang dan jasa yang ingin mengiklankan produknya. Operator harus mulai menyiapkan infrastruktur dan sistem yang handal sehingga dapat melakukan profiling dan korelasi data pelanggan secara tepat. Jadi ke arah pelanggan bukan hanya sekedar bagaimana meningkatkan kualitas akses namun juga bagaimana pelanggan sebagai pasar potensial untuk mobile advertising bisa lebih dimaksimalkan.

      Delete
    2. Bu Dewi,

      Saya tertarik menanggapi usulan bahwa operator harus masuk ke arena freemium dengan menyediakan aplikasi/game yang disisipi iklan. Di sisi lain, saat ini OTT sudah menggelar layanan tersebut dengan baik.
      Pertanyaannya, sanggupkah operator menyediakan layanan freemium yang menarik pelanggan? Mengingat:
      1. Aplikasi/game yang disediakan OTT lebih mature dan tentunya lebih menarik bagi pelanggan
      2. Resource yang dimiliki operator untuk membuat layanan tersebut terbatas karena selama ini lebih fokus ke jaringan

      Delete
  3. Tiga masalah utama yang menyebabkan "KEGALAUAN" itu sebenarnya telah didefinisikan dengan baik oleh Accenture sebagai Top 10 Risks in Telecommunication by 2012, diantaranya adalahL

    1. Failure to shift the business model from minutes to bytes
    2. Failure to capitalize on new types of connectivity
    3. Insufficient information to turn demand into value

    Kesalahan operator-operator Telco Indonesia pada umumnya adalah terlalu fokus pada point #1 dan #2, sehingga kreativitasnya tidak jauh-jauh dari mencoba menyaingi para raksasa seperti Facebook, YouTube, Google dan Twitter.
    Sah-sah saja mengikuti, namun jika tidak memiliki diferensiasi dan proteksi (seperti China) hal itu akan berdampak kegagalan dab buang waktu saja.

    Business Model Baru seharusnya lebih memfokuskan pada point #3 yang merupakan kelemahan klasik kita selama ini.
    Kita tidak pernah benar-benar mau mengenali pelanggan dan mengerti keinginan pelanggan.

    Saya berikan sebuah contoh:

    PROBLEM:
    "Banyak Orang Indonesia teriak-teriak, kita cuma jadi korban kapitalisme dan hanya menjadi bangsa konsumen, kapan kita bisa menjadi bangsa produsen??"

    SOLUTION:
    "Operator Telekomunikasi harus terjun menyelesaikan masalah ini. Bangunlah suatu platform yang bisa menghubungkan para pelaku industri kecil di Indonesia dan mengklasifikasikan produk2 mereka. Operator bisa membantu menampilkan mereka kepada dunia sebagai sebuah entitas besar yang solid"
    Kita kawinkan filosofi Facebook, Multiply dan Karakter Keindonesiaan.

    Hal-hal seperti diatas selayaknya dipandang sebagai sebuah "DEMAND" yang dapat diubah menjadi "VALUE"

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pak Fadli ZF,

      Analisa yang menarik dari Accenture dan setuju dengan keharusan untuk memiliki kemampuan mengubah demand menjadi value. Hal ini juga telah coba dilakukan oleh para operator telco seperti mulai memunculkan bisnis-bisnis baru yang berjalan di atas jaringan data seperti M2M, mobile payment, dll. Namun pada dasarnya secara bisnis model, semua jenis bisnis baru ini memiliki kesamaan dengan bisnis model dari bisnis eksisting yaitu berbayar. Sedangkan ide yang coba ditawarkan melalui tulisan ini adalah bisnis model yang sangat berbeda yaitu free atau freemium. Mungkin perubahan bisnis model ini adalah bagian yang paling sulit karena selama ini bisnis model operator telekomunikasi dari zaman telegram lalu wire-line hingga wireless selalu berbayar meskipun pada era wireless mulai terjadi perang harga antaroperator telekomunikasi sehingga memaksa harga jasa telekomunikasi menjadi relatif lebih rendah. Namun rendahnya harga jasa telekomunikasi ini sepertinya belum cukup karena layanan lain yang serupa yang ditawarkan oleh OTT bersifat free atau freemium. Sebut saja untuk layanan suara, saat ini sudah banyak aplikasi teleponi tidak berbayar berbasis IP seperti Skype, Yahoo voice dan sebagainya. Sedangkan untuk layanan pesan (message) sudah lebih banyak lagi aplikasi gratis untuk layanan ini yang bahkan bisa terintegrasi dengan nomor telepon selular pelanggan sehingga pengguna aplikasi tersebut tidak perlu menambahkan kontak karena akan otomatis terdaftar sendiri. Melihat fenomena ini dan keberhasilan bisnis model free atau freemium yang terbukti bisa bertahan bahkan tumbuh, maka operator telekomunikasi sepertinya harus mulai bersiap untuk bertransformasi.

      Delete
  4. -by eloksa-

    punteun mau nanya mbak dewi. Kenapa jualan data tidak terlalu menghasilkan seperti voice dan sms? Perasaan orang2 makin banyak yg online di mana2 sampai2 gak sadar lingkungan. Btw artikel yg bagus.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mbak Eloksa,

      Seperti yang pernah dipaparkan dalam artikel dari Pak Hasnul Suhaimi, bahwa pada era data terjadi decoupling atau pemisahan linearitas antara traffic/cost dengan revenue yang dihasilkan atau juga sering disebut sebagai grafik mulut buaya. Dari grafik mulut buaya ini tampak bahwa pada satu waktu yang sama cost per bit (cost/bit) lebih tinggi dibandingkan dengan revenue per bit (revenue/bit) dan jarak antara keduanya semakin lebar seperti mulut buaya yang menganga seiring dengan bertambahnya waktu (time). Hal ini ditengarai terjadi karena 2 faktor utama yaitu tingginya network cost dan rendahnya revenue yang dihasilkan dari data/internet.
      Seperti yang disebutkan oleh Mbak Elok bahwa pada saat ini semakin banyak orang yang online bahkan hingga tidak sadar akan lingkungannya . Semakin banyak orang yang menggunakan internet/online membuat traffic data meningkat yang tentu saja memerlukan kenaikan kapasitas jaringan operator yang berujung pada tingginya network cost. Sedangkan di lain pihak pada era data, operator selain menghadapi perang harga juga harus berbagi revenue dengan OTT sehingga revenue yang didapat menurun. Dua hal inilah yang utamanya membuat mengapa jualan data tidak terlalu semenghasilkan seperti voice dan sms.

      Delete
  5. Artikel yang menarik untuk dikembangkan. Apakah ada yang bisa membantu mendapatkan model bisnis telekomunikasi selular saat ini? Kalau bisa dari sumber yang sama ya.... Makasih.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ysh Pak Fajardhani,

      Mohon maaf Pak Fajardhani, untuk model bisnis selular dari sumber yang sama yaitu www.businessmodelgeneration.com belum saya dapatkan. Saya akan coba cari lagi ya Pak, atau kalau ada pembaca lain yang pernah punya boleh saya minta bantuannya untuk ikut share? :)

      Delete
  6. Analogi shampo

    Ngomong-ngomong mbak Dewi, kenapa paket internet Tel***sel gak ada yang Rp 10.000 atau 5000 ya? untuk paket bulanan flash, Tel***sel jual paling murah Rp 20.000 dengan kuota sampe 500 MB kalo gak salah. Lha, untuk orang-orang yang gak perlu internetan sampe 500 MB, dia merasa sayang untuk beli 20.000, tapi nyari harga di bawah itu untuk langganan bulanan gak ada. karena sayang uangnya akhirnya nggak jadi beli deh (kehilangan potensi revenue kan?).

    Nah, mungkin perusahaan telekomunikasi perlu menjual paket ketengan misal Rp 5000 untuk 50 MB tapi berlaku sebulan (ada sih yang Rp 5000 tapi cuma seminggu). Kalau konsumennya cuma pingin chatting kan cukup.

    Saya inget cerita shampo, jadi, katanya, omset terbesar shampo itu ternyata dari produk ketengannya. Kenapa? karena kita rakyat indonesia, sanggupnya membeli partai kecil. Kalau di Amerika, orang sanggup beli curah, bulk, memang jatuhnya lebih murah, tapi kan berat di depan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mbak Eloksa,

      Untuk paket internet dalam volume kecil seperti analogi shampoo sachet/ketengan, sudah ada paket tersebut namun tentu saja dengan masa aktif yang lebih pendek karena sesuai dengan analogi shampoo juga bahwa untuk yang ketengan tentu saja akan lebih cepat habis. Sebagai contoh paket dengan volume kecil hanya untuk chatting dapat dilihat pada link berikut: http://www.telkomsel.com/paketsnc

      Delete
  7. Assalamu`alaykum teman-teman,

    Perkembangan smartphone dan mobile broandband (MBB) mendorong peningkatan mobile internet & penggunaan data selama beberapa tahun sehingga terjadi kenaikan traffic, bahkan doubling di beberapa negara seperti Amerika, Eropa dan Asia Pasifik. Kenaikan traffic ini mendorong peningkatan CAPEX/OPEX, walau tidak terlalu baik--peningkatan MBB traffic ini ternyata tidak sesuai dengan pertumbuhan revenue.

    Pada kenyataannya beberapa carrier hanya memperlihatkan sedikit peningkatan bahkan flat revenue. Sementara itu, beberapa carrier memperlihatkan bahwa traditional voice & messaging business menurun. Bisnis mereka mengalami erosi oleh OTT player seperti WhatsApp, Google, MSN, dan lain-lain.

    Contoh:
    - China CMCC Guangdong mengalami penurunan revenue 30% dalam 2 tahun terakhir.
    - Eropa, beberapa analis memprediksi 50% penurunan SMS revenue di tahun 2015.

    //Voice
    Voice customer seperti point to point connection. Jenis bisnisnya seperti scale of economy--semakin banyak network coverage, semakin banyak pula subscriber. Voice business berfokus pada network ataupun resource management.

    Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada voice business:
    - Network : connection oriented
    - Business : scale & time
    - Operation : network/resource
    - Value chain : close

    //Data
    Customer biasanya memiliki berbagai perbedaan kebutuhan mulai dari content, services, data volume. Jenis bisnisnya seperti scope of economy--carrier harus mengembangkan personalized packages agar dapat mengakomodasi perbedaan kebutuhan customer. Data business berfokus pada customer centric, customer demand.

    Pada data business terjadi shifting focus seperti:
    - Network : connectionless
    - Business : scope & value
    - Operation : customer centric
    - Value chain : open

    Akhir-akhir ini VODAFONE membuat pilihan pada MOBILE DATA sebagai growth strategy yang sangat penting. CHINA MOBILE juga mengindikasikan adanya shift business focus yang awalnya voice menjadi voice+data+aplikasi sebagai key strategy.

    Dilihat dari demand value, berdasarkan Mobile World Congress Daily 2013, dari berbagai market survey, 90% customer bersedia membayar 12% lebih mahal untuk kecepatan & kualitas. 67% menginginkan penggunaan mobile data roaming, sedangkan 57% akan mematikan data roaming.

    Beberapa operator didunia telah mengimplementasikan 3GPP PCC (Policy & Charging Control) untuk manajerial dari operasi MBB yang dapat menghasilkan efisiensi jaringan, meningkatkan user experience, menaikan revenue maupun ARPU.

    Contoh:
    - Vodafone telah menjalankan : web/vide optimization di 9 markets, mengurangi traffic volume dari 15-30% dari pengurangan traffic volume ; 20-30% pengurangan P2P (point to point) traffic.
    - Verizon mengalami peningkatan ARPU
    - Megafon menjadi salahsatu data operator terpenting di Rusia setelah menerapkan Mobile Broadband architecture solution dalam hal monitoring, diferensiasi, dan control traffic.

    Aktifitas bisnis yang dapat dilakukan dalam proses shifting diatas adalah:
    1. Provide the right service -> at the right time -> via right channel -> to the right customer.
    2. Mengumpulkan user commercial value.
    3. Inovasi BUSINESS MODEL
    4. Mengidentifikasi perbedaan pelayanan traffic, kesinergian dengan user, bandwidth, lokasi, waktu, memaksimalkan income.

    Wassalam

    Adi Kurnia, Azarya, Erny, Renni, Tomy
    (-3)

    ReplyDelete
  8. Saat ini semua operator sudah menyadari bahwa era CS (circuit switch) hanya menunggu waktu untuk shifting ke PS (packet switch). Sehingga trend layanan legacy (voice dan sms) akan menurun, sedangkan layanan data (broadband dan digital service) akan meningkat. Tapi peningkatan traffic/cost tidak sebanding dengan revenue yang dihasilkan sehingga akan menghasilkan trend pertumbuhan profit yang menurun (minus), jika tetap bertahan dengan bisnis model yang mereka gunakan saat ini (termasuk product dan tariff schema yang tidak men-trigger pertumbuhan revenue yang sebanding dengan cost dan traffic). Beberapa operator di Indonesia saat ini, masih "diselamatkan" oleh demand pelanggan yang tetap mengandalkan layanan legacy, yang dapat tercermin oleh penetrasi 2G yang masih dominan 70%-80% dan penetrasi 3G yang baru mencapai 25%-30% dan hal itu pula yang tercermin dari kontribusi revenue masih dominan pada layanan legacy sekitar 75%-80%, sedangkan layanan data memberikan kontribusi sebesar 20%-25%. Tapi hampir semua operator akan menjadikan layanan broadband sebagai "core service" disamping innovasi pada digital service, sedangkan untuk layanan legacy akan dioptimalkan selama demand pelanggan masih ada. Untuk meningkatkan digital service seperti enterprise solution (M2M, VPN, dll), mobile payment (e-money, prepaid recharging,dll), mobile ads, digital service lainnya diperlukan sosialisasi supaya dapat men-trigger kebutuhan pelanggan terhadap layanan digital/elektronik tersebut. Sementara itu beberapa operator juga sudah mulai ancang-ancang untuk melakukan implementasi teknologi 4G LTE yang tentu saja akan meningkatkan QoS (speed/bit rate) dengan quota yang lebih besar dan hal ini akan lebih meningkatkan traffic data dan cost untuk membangun infrastruktur, tantangannya adalah kembali ke revenue yang dapat dihasilkan untuk mendapatkan profit.
    Untuk menjawab kegalauan tersebut, beberapa pertanyaan yang masih terpendam adalah sebagai berikut :
    1. Apakah operator Telco akan tetap menjalan strategi bisnis sebagai penyedia infrastruktur Telco atau penyedia layanan atau menjalankan kedua-duanya dengan bisnis model yang baru ?
    2. Sementara penetrasi 3G serta revenue dan profit dari layanan data belum menggembirakan, apakah operator harus move on untuk melakukan implementasi 4G LTE ?

    ReplyDelete
    Replies
    1. saya mencoba menjawab pertanyaan dari Pak Enov.
      1. operator telco perlu menjalankan bisnis model baru yaitu sebagai penyedia layanan, apalagi di era digital saat ini infrastruktur dapat digunakan secara bersama-sama untuk melayani berbagai macam layanan. Hal tersebut membuat biaya operasional infrastruktur semakin murah dan bahkan cenderung akan terus turun hingga mendekati gratis. Operator telco perlu naik ke lapisan yang lebih atas, yaitu sebagai penyedia layanan.
      3. menurut saya operator harus move on ke 4G LTE. hal tersebut dikarenakan dengan implementasi 4G LTE biaya operasional operator menurun serta dari sisi kualitas lebih baik dari 3G sehingga pelanggan akan beralih ke 4G LTE. Apabila operator tidak mengimplementasikan 4G LTE segera maka resiko penurunan kualitas layanan akan terjadi dikarenakan trafik data semakin hari peningkatannya sanagat eksponensial dengan rata-rata pertumbuhan mencapai 114% setiap tahunnya (sumber). Pertumbuhan trafik mobile yang begitu pesatnya tidak akan mampu dihandle oleh teknologi 3G. Hal tersebut ditambah lagi dengan adanya keterbatasan spektrum serta belum contigousnya frekuensi milik operator seluler terutama di frekuensi 1800 MHz. Pertumbuhan trafik data yang begitu eksponensial memang tidak merata di seluruh wilayah Indonesia. Pertumbuhan trafik data yang tinggi hanya terjadi di kota-kota besar yang padat penduduknya, sehingga operator cukup menggelar 4G LTE di kota-kota besar terlebih dahulu dan sambil melakukan pemerataan penetrasi 3G di wilayah rural.

      Delete
  9. Q1.2014
    Apa yang sebenarnya terjadi? Dalam hal ini mengapa keberadaan jaringan PS bisa merubah model bisnis konvensional CS?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terjadi pergeseran protocol dari CS ke PS. Dimana message dibagi menjadi paket-paket kecil sebelum message itu dikirimkan.
      Beberapa keuntungan dari Packet Switching :
      • Efisiensi dari line yang bertambah besar, karena link dari node ke node dapat dibagi secara dinamis oleh banyak paket.
      • Jaringan PS dapat menjalankan konversi data rate.
      • Jaringan menolak menerima permintaan koneksi tambahan sampai beban pada jaringan berkurang.
      • Dapat menggunakan prioritas.
      • Memungkinkan error detection dan correction, fault diagnosis, message sequence checking, reverse billing, verifikasi dari message delivery, dll.
      • Tujuan dari informasi terdapat pada tiap paket, sehingga beberapa message dapat dikirim dengan cepat ke beberapa tujuan sekaligus.
      Sehingga dengan adanya PS maka bisnis model konvesional CS tergeser dikarenakan CS menjadi terlihat lebih high cost dibandingkan dengan PS.

      Delete
    2. era CS (voice & sms) dengan kontribusi 75-80% dari total revenue, semakin tergerus dengan meningkatnya traffic layanan data (PS) dengan kontribusi hanya 20-25% dari total revenue, ditambah dengan invasi OTT yang hanya mengekploitasi infrastruktur tanpa adanya revenue sharing (dumb pipe). Peningkatan cost capex, opex dengan pertumbuhan traffic data tanpa adanya peningkatan profit menjadi masalah besar bagi operator. Model bisnis yang sebelumnya bertumpu pada telekomunikasi konvensional (CS) sudah tidak cukup ampuh, efektif dan profitable jika terus dipertahankan. Salah satu antisipasinya adalah dengan merubah model bisnis seperti ini (konvensional/CS) atau dengan melakukan pengembangan pada model bisnis layanan data (PS).

      M. Wildan
      ManTel 2013

      Delete
    3. Dikaitkan dengan jenis-jenis inovasi (radical, incremental, disruptive, dan sebagainya), hal yang terjadi adalah implementasi "radical innovation" dalam penyelenggaraan seluler yaitu packet-switching (Advanced Topics in Information Technology Standards and Standardization Research, Kai Jakobs). Sesuai dengan penjelasannya (http://www.innovaders.com/innovation/general.htm), "Technological knowledge required to exploit it is very different from existing knowledge, existing knowledge will be obsolete. Radical Innovation results in a product that is so superior that existing products are rendered noncompetitive".

      Dari sisi teknis, perubahan radikal CS ke PS terletak pada kemampuannya untuk menangani trafik tidak lagi terbatas eksklusif untuk satu pengguna seperti di CS tetapi kini dapat mengakomodasi lebih dari satu pengguna melalui jaringan yang sama (efisien) pada saat yang bersamaan (simultan). Hal ini menyebabkan peningkatan kapasitas besar-besaran pada medium yang sama (increased supply).

      Dari sisi finansial, kehadiran PS menyebabkan skema pembebanan biaya layanan (billing) yang berbasis waktu (time-based) seperti per menit tidak lagi sesuai karena saluran yang sama digunakan tidak lagi digunakan secara terus-menerus (continues) tetapi berdasarkan volume trafik yang dihasilkan (sporadis). Sehingga model billing pun per berubah di era PS.

      Di sisi marketing, penyediaan kapasitas jaringan PS tidak memiliki korelasi mengikat dengan akuisisi pelanggan, berbeda dengan CS dimana satu saluran akan mewakili satu pelanggan pada kondisi beban rata-rata.

      Di sisi SDM, sebagaimana penjelasan mengenai radical innovation, pengetahuan SDM internal mengenai CS tidak dapat serta merta diaplikasikan ke PS akibat perbedaan mendasar kedua teknologi dalam menyediakan kapasitas.

      Di sisi layanan, hanya satu layanan yang dapat disediakan CS pada waktu bersamaan kepada satu pelanggan, sedangkan pada era PS pelanggan bisa mengakses lebih dari satu layanan pada saat bersamaan.

      Karena karakteristik CS vs PS yang sangat berbeda itulah, model bisnis era CS tidak dapat diimplementasikan untuk era PS

      Delete
    4. Perubahan dari SC menjadi PS mengakibatkan dampak yang besar bagi operator seluler, dimana pada SC bersifat close sedangkan PS lebih bersifat terbuka. Operator sudah idak mempunyai kendali terhadap aplikasi yang lewat melalui jaringan opearator dalam hal ini adalah OTT. Dengan semakin meningkatnya tren penggunaan OTT oleh konsumen, mengakibatkan trafik data meningkat tajam. Untuk memenuhi kebutuhan konsumen tersebut operator harus melakukan investasi untuk menambah kapasitas pengiriman data. Dengan perluasan jaringan tersebut maka kapasitas, jumlah pelanggan dan revenue meningkat tetapi tidak demikian dengan profit. Hal tersebut terjadi karena revenue yang tinggi diikuti oleh cost yang tinggi pula. Dari sini dapat dilihat bahwa pada PS besaran revenue tidak bisa dijadikan acuan keberhasilan atau bagus tidaknya performa keuangan operator seluler, melainkan seberapa besar profit yang dihasilkan dengan menekan cost serendah-rendahnya.

      Delete
    5. Jaringan circuit-switched memerlukan dedicated koneksi point-to-point selama jaringan calls. Sedangkan Packet-switched memindahkan data terpisah, dalam paket/blok kecil, berdasarkan alamat tujuan di setiap paket. Ketika paket diterima, kemudian paket disusun kembali dengan urutan yang benar untuk membentuk sebuah pesan.

      Dari segi penggunaan oleh perusahaan, saat ini circuit-switched digunakan untuk phone calls, sedangkan packet-switched digunakan untuk layanan data.
      Dari sisi bisnis phone call berdasarkan packet-switched (VoIP) lebih murah dari circuit-switched, Akan tetapi terdapat hambatan implementasi packet-switched tsb, bahwa kualitas dari packet-switched masih buruk, terdapat latency dan paket drop saat congestion.

      Model bisnis yang digunakan untuk migrasi dari full circuit-switched menjadi full packet switched tentu akan berubah. Ada fase dimana pelanggan akan merasa tidak nyaman akibat penurunan kualitas phone calls. Jika dilihat dari sisi perusahaan mgkn akan lebih efisien jaringan packet switched, akan tetapi untuk mengantisipasi churn rate, maka model bisnis saat ini adalah hybrid, packet switched untuk data dan circuit switched untuk phone calls.
      Sambil menemukan metode untuk mengatasi latency dan paket drop pada layanan phone call di jaringan paket switched.

      Delete
  10. Q2.2014
    Apakah gejala ini hanya terjadi di Indonesia atau di seluruh dunia? Beri data pendukungnya.ya ....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Perubahan terjadi seiring dengan perkembangan technology dalam dunia telekomunikasi. Hal ini terjadi di seluruh operator telekomunikasi di dunia. Adanya pergeseran kebutuhan data menyebabkan diperlukannya paket switch untuk memperlancar pengiriman paket data.
      Data connection di beberapa operator dapat dilihat pada link berikut:
      http://www.mobileworldlive.com/top-20-global-mobile-operator-groups-by-connections-and-revenue-q1-2013

      Delete
  11. Q3.2014
    Mengapa situasi ini tidak terbaca sebelumnya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Masih berkaitan dengan penjelasan tentang radical innovation, kemungkinan hal ini disebabkan kurang telitinya pengkajian analisis risiko yang dilakukan antara SDM teknis-finance-marketing sehingga memperlakukan keberadaan PS sebagai incremental innovation dari CS. Karakteristik dari incremental innovation adalah "The knowledge required to offer a product builds on existing knowledge" (referensi: http://www.innovaders.com/innovation/general.htm). Padahal, CS vs PS merupakan hal yang sama sekali berbeda perlakuannya.

      Delete
    2. Sebenarnya operator sudah membaca situasi tersebut, salah satunya adalah telkom. OTT dinilai telah menggerus bisnis jasa data yang dibangun oleh operator dengan investasi besar, oleh karena itu aturan konvergensi, dimana bukan hanya layanan OTT bisa masuk ke industri telko, akan tetapi industri telko juga harus bisa masuk ke layanan mereka.

      Telkom melakukan antisipasi dengan memasuki bisnis TIME (Telecommunication, Information, Media, dan Edutainment) termasuk membangun konten untuk Speedy, inkubasi bisnis melalui Bandung Digital Valley, memperkuat PayTV-IPTV yang akan bisa multi-screen, konten musik dengan Melon, portal PlasaMSN, dan beberapa lainnya.

      Sumber klik disini.

      Delete
    3. Pada mulanya operator menganggap OTT ini merupakan bisnis kecil yang tdk dapat merugikan operator telekomunikasi. seiring dengan perkembangannya ternyata layanan OTT semakin merugikan operator telko dan terus menggerus pendapatan. Untuk mengantisipasi hal ini maka operator harus dapat bekerjasama dengan pemain OTT dan menemukan bisnis model baru untuk dapat mengembalikan pertumbuhan profit.

      Delete
  12. Q4.2014
    Sejauh apa model bisnis operator harus berubah? Apa dampaknya bagi karyawan? Siapa saja yang diuntungkan? Bagaimana mengetahui bisnis model yang dipilih sudah benar?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Beberapa dampak penerapan PS yang dapat diidentifikasi secara jelas adalah:
      1) Perubahan keseluruhan arsitektur dan perencanaan jaringan;
      2) Perubahan Key Performance Indicator (KPI);
      3) Perubahan rantai nilai (value chain);
      4) Perubahan jenis layanan yang dapat diakomodasi;
      5) Perubahan skema pembebanan biaya layanan (billing);
      Kelima hal di atas pada akhirnya akan mengubah model bisnis.

      Dampak kepada karyawan adalah karyawan (khususnya teknis-finance-marketing) perlu diberi pengetahuan secara lengkap dengan berpedoman bahwa pengetahuan era CS tidak dapat dibawa ke era PS.

      Pihak yang diuntungkan dalam hal penerapan PS adalah end-user dan vendor terminal karena end-user akan dihadapkan pada layanan yang jauh lebih beragam, dan vendor terminal akan menyediakan (menggoda) end-user dengan inovasinya.

      Kembali pada hakikat bisnis, model bisnis yang benar adalah model bisnis yang dapat memberikan profit (EAT/Earning After Tax) positif sehingga dapat memberikan pengembalian dan keuntungan investasi, serta membuat end-user merasa terikat dengan perusahaan (contoh kasus bagaimana Apple berusaha menciptakan sticky ecosystem agar konsumennya tidak beralih ke platform lain)

      Delete
    2. Tuntutan peningkatan kapasitas dan peningkatan kualitas layanan telekomunikasi sudah tidak bisa dihindari, yang menjadi perosoalan adalah biaya investasi yang tinggi dan juga biaya operasional yang tentu saja tidak murah. Untuk itu menurut saya operator telekomunikasi sebaiknya merubah model bisnis yang semula membangun infrastruktur dan mengoperasikan sendiri beralih dengan menyewa jaringan dari penyelenggara jaringan atau dengan kata lain merubah Capex menjadi Opex. Dengan demikian, operator telekomunikasi hanya bersaing pada sisi aplikasi dan konten bukan dari sisi infrastruktur.
      Penyelenggara jaringan diharapkan hanya ada satu yang dikelola oleh Pemerintah atau BUMN yang diwajibkan membuka interkoneksi bagi semua penyelenggara jasa/ jaringan yang akan menyewa. Pemerintah dapat berperan dalam pembangunan infrastruktur terutama untuk daerah denga tingat ROI rendah dengan menggunakan dana USO/ICT Fund.

      Delete
    3. Bisnis model harus segera dirubah jika sudah tdk profitable. Hal ini tentunya akan berdampak pada karyawan karena penerapan bisnis model baru blm tentu akan menghasilkan profit besar sehingga akan adanya pengurangan untuk mengurangi cost. Perusahaan dan karyawan yang bertahan akan merasakan keuntungan jika bisnis model baru berhasil mendapatkan pertumbuhan profit yang bagus. Untuk memastikan apakah bisnis model sdh sesuai, maka dilakukan monitoring dan diperhatikan sustainabilitynya dan juga dilakukan korektif jika ada kesalahan dalam implementasinya.

      Delete
    4. Sebuah perusahaan perlu model bisnis yang dapat dipahami oleh semua karyawan dan terdapat fasilitas diskusi dan penjelasan tentang bisnis model yang dipilih. Tantangannya adalah konsep bisnis model yang simple, relevan, dan mudah dimengerti

      Menurut Geoffrey A. Moore’s tentang teori vector inovasi, perusahaan perlu membuat keputusan mendasar dalam pemilihan model bisnis untuk mendukung key business purpose, core values and brand promise, dan strategic goals

      Menurut Geoffrey A. Moore’s terdapat 4 macam bisnis model yg dapat dijadikan acuan.
      Model 1: The ‘Disruptive Innovation’ Business Model (“Red”), Google, Apple
      Model 2: The ‘Customer Intimacy’ Business Model (“Yellow”), Dell Computer
      Model 3: The ‘Product Leadership’ Business Model (“Green”), Bayer, HP, Microsoft
      Model 4: The ‘Operational Excellence’ Business Model (“Blue”), GE, TNT

      Source: Geofrey A. Moore Disini

      Delete
  13. Q5.2014
    Apa betul penggunaan biofuel dapat menurunkan efek rumah kaca dan menurunkan biaya energi? Jika harus menulis ulang Peraturan Presiden di atas, hal apa saja yang harus diperhatikan?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dari beberapa bacaan Biofuel atau Biodiesel dapat mengurangi efek rumah kaca karena karbon dioksida yang dihasilkan dari pembakaran biodiesel berasal dari tanaman pertanian yang digunakan lagi pada proses fotosintesis sehingga terbaharui.
      Dibandingkan minyak bumi, biodiesel mengurangi emisi hidrokarbon yang tidak terbakar, karbon monoksiada, sulfat, polisiklik aromatik hidrokarbon, nitrat polisiklik hidrokarbon dan partikulat.

      Delete

Membuat Link Pada Komentar Anda
Agar pembaca bisa langsung klik link address, ketik:
<a href="link address">keyword </a>
Contoh:
Info terkini klik <a href="www.manajementelekomunikasi.org"> disini. </a>
Hasilnya:
Info terkini klik disini.

Menambahkan Gambar Pada Komentar
Anda bisa menambahkan gambar pada komentar, dengan menggunakan NCode berikut:

[ i m ] URL gambar [ / i m ]

Gambar disarankan memiliki lebar tidak lebih dari 500 pixels, agar tidak melebihi kolom komentar.

---

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger