Monday, November 4, 2013

Studi Kasus #13: Model Bisnis VENDOR Telekomunikasi

Seri Kapita Selekta

oleh: Kelompok 2
Ayu Nova, Dewi Asri Tiara Putri, Putu Eka Suarjaya

Kemajuan industri telekomunikasi Indonesia tidak terlepas dari peran vendor telekomunikasi. 

Berbicara industri telekomunikasi tidak bisa terlepas dari peranan vendor telekomunikasi yang mengisi kebutuhan perangkat bagi operator telekomunikasi.

Vendor telekomunikasi umumnya menyediakan solusi bagi operator dalam hal infrastruktur baik untuk komunikasi tetap maupun bergerak.

Pendahuluan

Teknologi telekomunikasi selalu mengalami perkembangan yang semakin canggih dari tahun ke tahun. Perkembangan ini menciptakan adanya tren yang ikut berubah pada industri telekomunikasi global. Tren yang ada tidak hanya berkaitan dengan pengadopsian infrastruktur telekomunikasi terbaru tetapi juga berkaitan dengan gaya pemakaian perangkatnya di masyarakat.
Kemajuan industri telekomunikasi tidak terlepas dari peran vendor telekomunikasi. 
Diantaranya adalah Ericsson yang telah memasok perangkat jaringan seluler (NMT) pada tahun 1987 dan merupakan pelopor dalam menyediakan jaringan bergerak digital (GSM 900) di tahun 1995 diikuti teknologi 3G sampai pada teknologi terbaru seperti LTE yang walaupun sampai saat ini masih dalam tahap ujicoba.

Beberapa vendor penyedia perangkat telekomunikasi diantaranya Ericsson, Nokia Siemens Network, Huawei, Samsung, ZTE, NEC dan Alcatel-Lucent. Saat ini Ericsson dan Huawei merupakan pemasok terbesar untuk kebutuhan perangkat telekomunikasi di Indonesia ataupun global. 

Di Indonesia sendiri Ericsson dan Huawei bekerja sama dengan tiga besar operator seluler Indonesia seperti Telkomsel, XL Axiata dan Indosat. Vendor tersebut mensuplai perangkat kepada operator dengan pembagian area tertentu. 
Di tengah persaingan yang ketat antar vendor dan kondisi industri telekomunikasi dunia ataupun Indonesia yang mulai mengalami titik jenuh dengan ditandai oleh pertumbuhan kinerja keuangan yang mulai menurun.
Namun beberapa vendor seperti Ericsson dalam satu tahun terakhir menunjukkan kinerja yang relatif stabil bahkan cenderung meningkat. 
Hal tersebut bisa dilihat dari kinerja saham Ericsson dibandingkan dengan 3 operator Indonesia seperti gambar di bawah. 


Pergerakan Harga Saham (1 tahun terakhir)
Ericsson dan Operator Telekomunikasi Terkemuka di Indonesia

Bisnis Model Vendor Telekomunikasi (Ericsson)

Posisi Ericsson yang tetap bisa bertahan di dalam persaingan bisnis, walaupun mendapat tantangan dan tekanan berat dari vendor Cina.
Hal ini bisa jadi karena perusahaan ini telah menerapkan model bisnis yang sesuai. 
Berikut Model Bisnis Kanvas Ericsson sebagai penyedia hardware ataupun software bagi industri telekomunikasi dunia. 


Model Bisnis Kanvas Ericsson
Berdasarkan model bisnis di atas terlihat bahwa salah satu revenue stream dari Ericsson adalah License atau ijin penggunaan hak patent baik kepada kompetitor ataupun kepada manufaktur perangkat yang merupakan customer segmentnya. 

Ada kemungkinan memang revenue dari sisi paten ini ikut mengangkat kinerja keuangan perusahaan.

Penutup

Sebagai penutup ada satu hal menarik yang bisa dipikirkan.
Apakah penurunan kinerja keuangan operator seluler Indonesia ini erat kaitannya dengan investasi secara besar-besaran dalam infrastruktur terutama untuk pemenuhan trafik data yang tidak sebanding dengan revenue yang didapatkan yang justru hal ini merupakan revenue dari sisi vendor?  
Ataukah memang model bisnis yang diterapkan oleh operator sudah tidak sesuai
Atau mungkin operator dan vendor bisa berkolaborasi dalam menciptakan model bisnis baru yang tentunya menguntungkan kedua belah pihak.

+++


Artikel Terkait

29 comments:

  1. Dear All,
    Bagaimana dengan managed service yang mulai dilakukan oleh beberapa operator? Yaitu sebagai upaya efisiensi dilakukan pengalihan operasional maintenance jaringan kepada vendor, selaku penyedia jasa managed service. Apakah ini dapat dikatakan sebagai new business model vendor dan operator?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Benar bu Lia sepertinya managed services dapat dimasukan sebagai value proposition vendor yang memberikan keleluasaan kepada customer (operator) terhadap operasional jaringannya karena menggunakan jasa MS dari vendor sehingga lebih fokus pada core bisnisnya yaitu pada penyediaan layanan dan hubungan dengan pelanggan. NSN dan Huwaei menyediakan jasa MS, apakah Ericsson menyediakan hal serupa?

      Delete
    2. Tentu ada kajian sebelum sebuah perusahaan operator telekomunikasi memanfaatkan managed services yang ditawarkan vendor. Ini tidak lepas dari faktor risiko yang mungkin timbul.

      Misalnya, besar kemungkinan nilai kontrak dalam mata uang asing (vendor umumnya perusahaan asing). Jika dampak risiko ini tidak diperhitungkan maka bisa dipastikan justru akan menimbulkan masalah.

      Kira-kira risiko apa lagi ya....

      Delete
    3. Menurut saya pak, selain risiko yang bapak sampaikan dapat kita lihat risiko di sisi operatornya sendiri dimana:
      1. Ada kemungkinan lay off karyawan karena efisiensi cost dan pekerjaan yang biasanya di handle oleh staff terkait karena sudah tergantikan fungsinya dengan managed service ini. Disisi karyawan tentunya merugikan, tapi di sisi perusahaan tentu akan save banyak budget opex nya.

      2. Managed service berarti memberikan kendali penuh kepada pihak ketiga terhadap network kita. Maka issue security harus menjadi pertimbangan dalam risk management nya. Keamanan dan privacy data pelanggan harus benar - benar di jaga

      3. Di sisi vendor sebagai tambahan adalah risiko beban kerja, risiko jika terjadi collaps network atau down dsb, maka sepenuhnya menjadi tanggung jawab vendor tidak lagi di clientnya. Dan kemungkinan buruk yang terjadi adalah penalty.

      Sehingga memang dibutuhkan assesment untuk kemungkinan2 dari risiko yang mungkin terjadi ini.


      Terima Kasih

      Salam
      Nova-Klmpk 2

      Delete
    4. Terkait dengan vendor sebagai perusahaan asing, maka nilai kontrak yang terjadi juga dalam mata uang asing. Hal ini menimbulkan resiko keuangan jika tiba-tiba nilai mata uang rupiah melemah terhadap mata uang asing, maka yang terjadi adalah biaya untuk manage service ini akan membengkak. Perusahaan operator telekomunikasi seharusnya mengkaji resiko ini karena pelemahan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing dapat memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap beban perusahaan ke depannya.

      Selain itu isu resiko yang mungkin terjadi adalah mengenai strategi operasi, pemilihan teknologi, perencanaan dan desain. Keempat hal tersebut harus tetap dikontrol oleh operator agar sejalan dengan visi dan misi perusahaan.

      - Rinto Hariwijaya -

      Delete
    5. Menambahkan pernyataan dari Mas Bloko, Ericsson sendiri memang telah menyediakan jasa managed services bagi operator seluler global, di Indonesia sendiri Ericsson mendapatkan kontrak managed services dari Axis. Kerja sama managed services kedua pihak telah dimulai sejak 2008. Ericsson bertanggung jawab untuk operasional, field maintenance, support services, dan spare parts management jaringan milik AXIS di Jakarta sekitarnya dan Sumatra Utara. Ericsson mendukung lebih dari 3,000 radio base station (BTS) dan sekitar 8 juta pelanggan AXIS.

      Ericsson menawarkan managed services yang komprehensif di industri telekomunikasi dari perancangan, pembangunan, pengoperasian, dan pengelolalan sehari-hari untuk jaringan milik pelanggan, termasuk layanan end-user dan business-support systems, untuk melakukan hosting service-layer solutions dan menyediakan jangkauan jaringan dan capacity on demand. Lebih dari 100 kontrak managed services dilakukan Ericsson dengan operator di seluruh dunia sejak 2002. Pada semua kontrak managed services, tidak termasuk hosting, Ericsson mengelola jaringan yang secara keseluruhan melayani lebih dari 750 juta pelanggan di seluruh dunia.

      Regards,
      Eka-Klp 2

      Delete
    6. Melengkapi masukan dari Mbak Lia dan Mas Bloko mengenai managed Services, mungkin bisa ditambahkan Tower Provider di kolom Customer Segmentationnya. Karena saat ini trend di Indonesia yang mulai menuju ke Tower dan site sharing, Ericsson juga mulai merambah bisnis tower ini, dengan membangun dan menjual tower kepada tower provider. Mungkin mas Eka bisa menambahkan sedikit terkait dengan info ini?

      Delete
    7. Dear Mbak Vince,

      Terima kasih masukannya, berdasarkan informasi yang saya dapat memang mulai ada penjajakan antara Ericsson dengan beberapa provider tower bersama di Indonesia, tetapi dalam hal ini Ericsson berencana mensuplai perangkatnya saja dan tower bersama tersebut yang tetap akan menawarkan kepada para operator. Peluang ini dilakukan oleh para provider tower bersama dengan tujuan supaya operator bisa memperluas coverage jaringan ataupun menambal area dimana masih terdapat blank spot. Dan saya setuju jika hal ini sudah terimplementasi, tower provider dapat kita masukkan ke dalam customer segment.

      Salam,
      Eka

      Delete
  2. saya lebih berpendapat bahwa bisnis operator yang hanya mengandalkan paket data untuk internet saja (seperti browsing, chatting dsb) sudah tidak sesuai. Operator harus lebih mengembangkan produk VAS-nya seperti penggunaan sms atau pemanfaatan NFC (smartphone) untuk melakukan transaksi (pembayaran tol, belanja di gerai toko, bayar listrik, air dsb) dengan memotong pulsa yang ada.

    mengenai manage-services bisa dikatakan model bisnis yang menguntungkan kedua belah pihak, dimana operator bisa lebih fokus pada core-bisnis-nya sedangkan vendor mendapat revenue tambahan

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ide yang menarik tetapi perlu dikaji lebih lanjut. Apakah pemotongan pulsa yang diajukan sama dengan nilai transaksi atau nilai pembelian?

      Jika 'ya' lalu apa yang dicatat sebagai pendapatan bagi operator.
      Jika 'tidak' artinya pemotongan lebih besar namun apakah pelanggan mau - mengingat ada sejumlah jasa layanan pembayaran yang bebas biaya transaksi.

      Delete
    2. yup benar perlu dikaji lebih lanjut, mengenai untung rugi-nya bagi opertor/konsumen.

      jika nilai biaya transaksi tidak terlalu tinggi konsumen kemungkinan bisa beralih karena dari segi praktis dan paperless-hanya menempelkan atau sms lwt gadget untuk transaksi.

      Delete
  3. Penurunan kinerja keuangan operator tidak hanya disebabkan oleh investasi besar pada infrastruktur tetapi juga dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya adalah rugi kurs, meningkatnya beban keuangan dan depresiasi, beban operasional yang tinggi, dsb. Pada kondisi sekarang, hal yang paling mungkin dilakukan oleh operator adalah menekan beban operasional supaya marginnya bisa terjaga. Menekan biaya operasional bisa dilakukan oleh operator itu sendiri dengan melakukan kontrol ketat terhadap segala macam pengeluaran maupun dengan bantuan vendor dengan optimasi jaringan ataupun teknologi yang dapat menghemat biaya operasional, misalnya migrasi ke IP network, teknologi single RAN, optimasi jaringan untuk meningkatkan QoS maupun availability jaringan dsb.
    Dari sisi vendor, keberhasilan menjual service dan license berpengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan karena infrastruktur biasanya dibangun hanya sekali untuk jangka waktu yang lama, kecuali adanya ekspansi atau penggantian teknologi.

    ReplyDelete
  4. Artikel yg sangat menarik dari Kelompok 2. Selain manage service, ada juga strategi para operator untuk mengurangi cost vendor dengan cara mengadakan training bagi beberapa karyawan di divisi operasional agar tidak terlalu menggantungkan pada fungsi ekskalasi ke vendor jika terjadi gangguan pada perangkat. Sehingga jika tidak terjadi kerusakan pada perangkat, gangguan masih dapat di-handle oleh operator yang bersangkutan.

    Menurut kelompok 2, manakah strategi yang lebih efisien bagi operator, apakah dengan melakukan manage service terhadap jaringan yang dimiliki ataukah justru melakukan self-manage terhadap jaringan sendiri? Mohon penjelasannya.

    Terima kasih.

    - Rinto Hariwijaya -

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dear Mas Rinto,

      Menurut saya strategi yang lebih efisien adalah dengan melakukan managed services, dimana melalui program managed services ini akan terjadi penghematan beban pada biaya operasional (opex) dan belanja modal (capex). Salah satunya operator bisa memberikan target KPI yang harus dicapai oleh vendor sesuai dengan kualitas jaringan yang diinginkan, jika tidak vendor harus memberikan ganti rugi kepada operator sesuai dengan perjanjian yang telah ditetapkan. Dengan adanya manages services Operator bisa fokus terhadap bisnis intinya yaitu penyediaan layanan dan meningkatkan pertumbuhan pelanggan.

      Mohon tambahan dari teman2 yang lain.

      Salam,
      eka-klp 2

      Delete
    2. Pertanyaan ini kemarin malam sudah dijawab di kelas oleh pak Yoseph Garo dari Telkomsel ya.... Memang harus dihitung keekonomiannya dengan cermat sebelum menentukan pilihan tersebut.

      Intinya tentu saja membangun dan mempertahankan keunggulan. Itu tentu juga berarti memperhatikan tujuan, strategi perusahaan, kekuatan internal perusahaan, Jika salah dampaknya akan sangat luas dan recoverynya tidak mudah.

      Delete
  5. Saya setuju dengan pendapat Pak Bloko. Dengan semakin meningkatnya persaingan antar operator, maka operator dituntut untuk fokus pada main bisnisnya. Disisi lain, day to day maintaining activities menyerap banyak resouces yang pada akhirnya meningkatkan biaya operasional operator. Dengan adanya Manage services agreement, dari sisi operator dapat meningkatkan efisiensi disisi operasional harian operator dan lebih focus pada main bisnisnya.

    Untuk Ericsson sendiri sudah menjalankan bisnis manage service ini sejak tahun 2004, dan memiliki managed service agreement dengan beberapa operator diantaranya TeliaSonera International Carrier dan Zain Bahrain.

    ReplyDelete
  6. Selain factor-faktor yang telah diuraikan Mas Azzinar dan Mas Antonius di atas, saya ingin menambahkan bahwa saat ini serbuan penyedia layanan Over The Top (OTT player seperti Google, Microsoft, Apple, Yahoo, Facebook) berkembang sangat pesat. Pelanggan telekomunikasi seluler lebih mudah mengakses internet akan cendrung beralih ke layanan messaging-nya OTT seperti Whatsapp, BBM, Skype, Line, Twitter, dsb.

    Akibatnya, pendapatan operator dari voice dan SMS tergerus karena sebagian pelanggan lebih mengutamakan komunikasi via OTT messenger sehingga menimbulkan fenomena dumb pipe (pipa bandwidth operator penuh, namun revenue menurun). OTT player menerima profit besar atas investasi infrastruktur yang dilakukan oleh operator. Ini menjadi beban bagi operator, karena tidak ada revenue yang di-share oleh OTT kepada operator. Namun operator tidak mungkin mencekik bandwidth data untuk akses ke layanan OTT tersebut, karena akan mengakibatkan pelanggan pindah ke operator lain. Untuk itu operator harus bisa menyikapi trend ini, bisa dengan melakukan "aliansi" dengan pihak OTT atau malah "kompetensi" langsung dengan menciptakan layanan OTT sendiri.

    Sedangkan di sisi vendor, OTT player akan mempengaruhi bisnis vendor dibidang infrastruktur telekomunikasi. Bisnis OTT berpotensi menjadi bisnis masa depan. Jika semua entitas sudah terhubungan dengan jaringan telekomunikasi, maka pengadaan infrastruktur telekomunikasi akan mencapai titik jenuh. Pertanyaan berikutnya adalah apa yang akan dilewatkan dalam jalan tersebut. Untuk itu, vendor tidak bisa hanya bertumpu pada menjual infrastruktur telekomunikasi saja, tapi juga beralih menciptakan bisnis baru yang bisa menyaingi para OTT player ini. Karena dari sisi vendor kompetisi bukan hanya antar sesama vendor telekomunikasi yang ada saat ini namun juga dengan para OTT player.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Uraiannya menarik. Tapi boleh minta penjelasan lebih lanjut ya....

      Disebutkan bahwa di sisi vendor, OTT player akan mempengaruhi bisnis vendor dibidang infrastruktur telekomunikasi. Maksudnya mempengaruhi secara positif atau sebaliknya? Makasih sebelumnya.

      Delete
  7. Benar Pak Fajar, ini artikel yang sangat menarik karena mengangkat permasalahan yang benar-benar sedang terjadi saat ini. Terima kasih sudah mengangkat permasalahan ini, dan mohon izin tetap menyimak karena memberi banyak masukan untuk saya :).

    Mengenai OTT, menurut saya secara tidak langsung akan mempengaruhi bisnis vendor karena bisnis OTT membuka fenomena baru dalam bisnis telekomunikasi, apalagi dengan pengaruhnya terhadap peningkatan bandwidth operator. Kondisi ini tentunya membuat operator juga harus memiliki strategi untuk mendapatkan revenue dari trend bisnis baru ini. Dengan membeli perangkat dan meningkatkan infrastruktur tanpa menyesuaikan dengan trend bisnis OTT, tentunya hanya akan menambah beban investasi operator. Jika operator membatasi ekspansi jaringannya, dan mengikuti trend mengembangkan bisnis content, akan mempengaruhi alokasi belanja perangkat infrastruktur yang akhirnya akan berimplikasi pada bisnis vendor jika vendor tersebut hanya fokus menawarkan solusi infrastruktur telekomunikasi.

    Untuk itu, dengan perubahan yang terjadi saat ini, tidak hanya operator yang harus menciptakan bisnis baru. Vendor pun harus dapat mengembangkan dan menawarkan solusi baru bagi operator, diluar solusi infrastruktur yang selama ini sudah ada.

    Demikian pendapat saya, mohon masukan dari teman-teman yang lain.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Issue terkait OTT ini sangatlah menarik tidak hanya di Indonesia, hal ini juga berlaku di seluruh dunia seperti Negara lain seperti midle east dan afrika. Survei Analisa Mason dari pengguna internet mobile di 2012-2013 di Timur Tengah dan Afrika (MEA) mengungkapkan bahwa 80% dari mereka menggunakan layanan over-the-top (OTT) messaging, dimana 44% menggunakan WhatsApp Messenger yang menggerus revenue dari masing masing operator yang ada. Ini menyoroti pertumbuhan adopsi layanan pesan berbasis IP di wilayah MEA, dan memperkuat betapa pentingnya bagi operator untuk menanggapi ancaman ini sebagai bagian dari strategi mereka. Hal ini juga berdampak pada Negara tetangga kita Vietnam, operator besarnya, Vieetel juga kehilangan 40-50% revenuenya akibat dari OTT ini.

      Sejauh ini regulasi OTT di indonesia juga masih belum jelas,tapi di Negara negara seperti Afrika, Middle East menetapkan bahawa OTT masuk kategori illegal meskipun masih tidak bisa dihentikan secara langsung. Bahkan di negara tetangga kita, Vietnam, pemerintah mereka sudah memutuskan untuk memblokir layanan dari aplikasi OTT, dan kebanyakan adalah aplikasi social media dan messenger.

      Nah mungkin seharusnya pemerintah Indonesia bisa 'mencontoh' regulasi mereka, Namun tidak dengan memblokir sepenuhnya tapi bisa dengan menggandeng para OTT player tersebut masuk ke indonesia bekerja sama dengan para operator lokal, lalu menerapkan revenue sharing untuk salah satu solusinya. Dan opini saya, langkah awal yang bisa diambil pemerintah saat ini adalah dengan membuat regulasi baru yang menyangkut aplikasi OTT ini dimana regulasi yang ada saat ini sesuai PM No. 21/2013 hanya sebatas mencakup konten asing tetapi sama sekali tak menyentuh OTT.
      Sehingga pelaku bisnis layanan jaringan telekomunikasi tidak dirugikan dan pengguna smartphone di Indonesia juga masih bisa menikmati layanan aplikasi OTT tersebut di smartphone mereka.

      Akan tetapi bagaimana jika pemerintah kita, melakukan hal yang sama seperti Negara tetangga kita untuk memblokir OTT, apakah bisnis OTT tetap bisa menjadi model bisnis masa depan bagi vendor yang bisa menjadikan VAS (value added services) bagi mereka?

      Delete
    2. Ada fenomena yang menarik jika diperhatikan. Ingat saat-saat salah satu operator kita memulai 'perang harga' untuk layanan yang sama? Lalu apa yang terjadi bisa kita ketahui.

      Jumlah pelanggan tersebut meningkat pesat dan menggerus pendapatan operator-operator lain. Lalu kemudian terjadi perang efisiensi dan pasar kembali menemukan 'keseimbangan baru' seperti yang kita lihat saat ini.

      Nah.... kehadiran OTT juga demikian. Walau bagaimanapun juga operator yang mulai menawarkan ke masyarakat. Lalu dengan dukungan teknologi masyarakat memanfaatkannya.

      Sekarang sepertinya jadi pusing sendiri...........
      Ada apa ya....

      Delete
    3. Menurut saya, mempertahankan jumlah pelanggan dengan terus mengikuti trend yang sedang berkembang merupakan suatu prioritas bisnis yang cukup mayor, dengan pertimbangan bahwa mempertahankan loyalitas pelanggan dengan layanan yang disajikan lebih penting sambil operator membuat alternatif atau strategi baru.
      Sayangnya, kemunculan dari alternatif atau strategi baru yang diperkirakan akan dapat mengalihkan trafik data OTT tersebut misalnya membuat sosial media versi lokal, kurang mendapat perhatian yang lebih dari pengguna layanan data (end user) karena kalah 'pamor' dibandingkan dengan sosial media skala dunia, padahal fiturnya tidak kalah menarik.

      Siapa cepat (terkenal), dia dapat (pelanggan) :)

      Delete
    4. Sekedar Menambahkan, ada informasi mengenai regulasi OTT ini, dimana Pemerintah menargetkan akan menerbitkan peraturan tentang layanan OTT ini pada akhir 2013. Dilihat dari fenomena yang terjadi pada bisnis telekomunikasi, adanya peraturan mengenai OTT ini akan memberikan gambaran model bisnis OTT antara operator selular dan OTT Player.

      Seperti yang dijelaskan Ibu Mia, model bisnis OTT di Indonesia selama ini bisa dinilai merugikan pihak operator selular. Sedangkan, OTT Player seperti Facebook, Google, Skype, Twitter, You Tube, Apple terus mencatatkan pertumbuhan pendapatan.

      Setuju dengan pendapat Ibu Reznia, tidak memblokir sepenuhnya tetapi bisa dengan menggandeng para OTT Player untuk bisa bekerjasama sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan bersama, dimana tujuan peraturan tentang OTT diharapkan memberikan keadilan keuntungan bisnis ( dengan revenue sharing) antara operator di dalam negeri dengan OTT Player sehingga memberikan acuan model bisnis OTT dan kewajiban dari operator selular.

      Dilihat fenomena yang terjadi saat ini, Keuntungan OTT Player jauh lebih besar, padahal yang membangun infrastruktur dan membayar bandwidth adalah operator. Apalagi salah satu kerugian model bisnis dengan OTT Player saat ini karena server dan kantornya berada di luar negeri,contohnya RIM.
      Dengan adanya peraturan untuk hal ini mungkin nantinya vendor asing seperti RIM harus memiliki kantor perwakilan dan server di Indonesia.
      Dengan berdirinya kantor resmi di Indonesia, maka negara akan mendapatkan pajak badan usaha yang selama ini tidak diterima. Efisiensinya juga tidak perlu bayar bandwidth internasional.

      Delete
    5. Terimakasih kepada kelompok 2 yang membagikan artikel yang menarik ini. Ditambah dengan hasil kuliah meinggu lalu kita dapat mengetahui bagaimana Vendor dengan Managed Service nya merubah iklim industri Telekomunikasi baik di Indonesia dan dunia. Melalui MS para vendor lalu mendapatkan sumber pendapatan baru dan membantu dalam mengangkat pendapatan para vendor. Dari sisi operator tentu mendapatkan jaminan akan kualitas layanan yang diharapkan dan tentunya efisiensi dalam OPEX. Pemain baru dalam industri Telekomunikasi yaitu OTT, saat ini bisa menjadi musuh yang menggerus pendapatan operator atau malah menjadi daya tarik bagi pelanggan dalam menggunakan layanan data yang disediakan oleh operator. Di satu sisi hal ini menjadi sumber nilai baru yang berpotensi, namun tetap harus hati-hati dengan ancaman yang ada. Walaupun sebagian besar pemain OTT telah mendapatkan nama besar dan sangat dikenal oleh masyarakat luas, tapi operator dan vendor adalah pemiliki jalur data. Karena itu operator dan vendor tentu dapat bekerjasama dengan pemain OTT sehingga dapat diciptakan sebuah lingkungan industri Telekomunikasi baru dimana operator, vendor dan pemain OTT dapat bersinergi dalam menyediakan layananannya.

      Regards
      Wendhy Munthe

      Delete
    6. Dear All,

      Menurut saya sudah agak susah untuk menerapkan regulasi baru terkait pemblokiran OTT ketika masyarakat sudah terlanjur menikmati dan merasakan manfaat dari keberadaan OTT tersebut sehingga OTT telah memiliki subscriber base yang cukup banyak di Indonesia. Selain itu untuk model kerjasama dengan developer content local di Indonesia juga perlu diperjelas lagi seperti nilai tambah apa yang bisa didapatkan oleh para OTT dari developer local karena aplikasi eksisting para OTT tersebut sendiri saat ini sudah begitu sangat laku di masyarakat.

      Salam,
      Dewi Klp.2

      Delete
    7. Setuju dengan pendapat Ibu Dewi.

      Zaman telah berubah.

      Suatu negara tidak bisa "memaksakan" sebuah regulasi tanpa menilai faktor-faktor eksternal yang berpengaruh. Kesalahan dalam penilaian akan berakibat kurang baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

      Lalu timbul pertanyaan:.

      (1) Apakah negara bertanggungjawab terhadap kelangsungan suatu usaha, misalnya di sektor telekomunikasi?

      (2) Lalu siapa yang bertanggungjawab terhadap kelangsungan telekomunikasi di negeri ini?

      Delete
  8. Menambahkan sedikit tentang dampak peningkatan popularitas aplikasi OTT di level konsumen terhadap revenue yang didapatkan oleh vendor telekomunikasi.

    Saya setuju dengan pendapat Ibu Mia, bahwa banyak sedikitnya vendor akan terpengaruh. Apalagi nature business OTT yang kebanyakan hanya fokus di software dan tidak memperdulian investasi hardware sama sekali. OTT provider menuntut Operator menyediakan pipa yang bagus untuk mereka sehingga cost untuk meningkatkan kualitas layanan OTT sepenuhnya menjadi beban Operator.

    Menurut saya, keadaan ini mungkin bisa menjadi ancaman bagi Vendor ketika Operator mulai menahan laju investasi infrastrukturnya.

    Sebaliknya juga menjadi peluang bagi Vendor untuk melakukan riset dan melepas produk yang dapat memfilter konten yang melewati pipa dengan kriteria tertentu, sehingga membantu Operator untuk memonetize apliasi OTT yang melewati mereka. Vendor dapat menjual product yang sudah memiliki fasilitas Deep Package Inspection secara built in.

    ReplyDelete
  9. Dear All ,
    Menambahkan informasi mengenai model bisnis yang mungkin bisa menjadi solusi bagi vendor dan opertaor untuk bersama-sama tumbuh adalah model revenue sharing. Penjelasan dari model ini adalah sebagai berikut :
    1. Sebagai operator , yang sudah mempunyai pangsa pasar (market share) yang jelas (ambil contoh XL , Tsel dan Indosat) bisa menawarkan kepada vendor pola kerjasama dengan modal adalah jumlah pelanggan yang dimiliki tersebut.
    2. Sebagai vendor yang mempunyai perangkat dan teknologi , memberikan solusi kepada operator dengan menanamkan perangkat atau teknologi yang dimiliki .
    3. Pola sharing revenue nya adalah misalkan dengan sekian jumlah kapasitas terpakai maka pembagianya adalah sesuai kesepakatan . Dalam artian sesuai hitungan bisnis antara kedua belah pihak.

    Sekilas hmpair mirip dengan pola manage services , perbedaanya adalah model ini lebih menekankan kepada keterbukaan akan perencanaan pembangunan network secara menyeluruh dilihat dari berbagai aspek. Sehingga kedua belah pihak sama-sama mengetahui resiko dan potensi keuntungan yang akan didapatkan.

    Mari kita diskusikan ..

    salam,

    ReplyDelete
  10. Dear Mas Mustain,

    Model bisnis yang sangat menarik, namun menurut saya secara teknis agak susah menerapkan hal tersebut karena dalam satu jaringan operator terdapat berbagai macam equipment, misalnya di sisi core network terdapat perangkat Huawei, sedangkan di sisi RAN memakai perangkat Ericsson, dan transmisinya menggunakan NEC. Jadi menurut saya sangat kompleks jika dilakukan revenue sharing.

    Regards,
    eka

    ReplyDelete

Membuat Link Pada Komentar Anda
Agar pembaca bisa langsung klik link address, ketik:
<a href="link address">keyword </a>
Contoh:
Info terkini klik <a href="www.manajementelekomunikasi.org"> disini. </a>
Hasilnya:
Info terkini klik disini.

Menambahkan Gambar Pada Komentar
Anda bisa menambahkan gambar pada komentar, dengan menggunakan NCode berikut:

[ i m ] URL gambar [ / i m ]

Gambar disarankan memiliki lebar tidak lebih dari 500 pixels, agar tidak melebihi kolom komentar.

---

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger