Saturday, April 30, 2011

Wireless Broadband Tebar Janji Semu, Wireline Broadband di Indonesia Tumbuh Terlalu Lambat


Baru baru ini ZTE sebagai vendor telekomunikasi memaparkan survey pengguna jaringan broadband wireline atau internet pita lebar berbasiskan jaringan kabel di beberbagai Negara Asia.  Menurutnya penetrasi pelanggan broadband wireline di Indonesia masih kurang dari 8% dari jumlah populasi penduduk Indonesia.

 Akan tetapi Indonesia tidak sendirian di Asia, masih ada Cina sebagai Negara maju yang ternyata hanya 6% pengguna broadband wireline dari total penduduk di Cina.

ZTE menganggap pangsa pasar broadband di Asia Pasifik diperkirakan 60 – 70 % sesuai dengan besarnya populasi penduduk di Negara-negara Asia Pasifik.

Berdasarkan riset Frost & Sullivan sebuah lembaga riset bisnis dan konsultan terkemuka di dunia, mencatat tingkat penetrasi broadband di Indonesia merupakan yang terendah di Asia Tenggara. Mereka memprediksi penetrasi broadband di Indonesia hingga tahun depan masih rendah dengan kenaikan hanya 3% sampai 5% Bagaimana penetrasi pelanggan broadband di Indonesia ?

Lalu bagaimana dengan penetrasi pelanggan broadband secara keseluruhan ? Merujuk data yang dipaparkan oleh vendor ZTE dan Frost & Sullivan Indonesia, bisa jadi penetrasi pelanggan Broadband tidak sampai  8% dari populasi Indonesia. Bahkan hasil dari lembaga riset di Korea menunjukkan jumlah pelanggan broadband di Indonesia hanya 1.3 %. Wow, sangat mengejutkan untuk Negara Indonesia yang memiliki jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa.

Belum diketahui operator mana yang saat ini memiliki jumlah pelanggan terbanyak untuk broadband. Tapi berdasarkan klaim dari beberapa operator maka bisa dipastikan TELKOMSEL dengan produk FLASH sebagai leader untuk bisnis broadband dengan total 4 juta pelanggan di awal tahun 2011. Sedangkan TELKOM dengan produk SPEEDY nya mampu membuntuti dengan jumlah 1.7 juta pelanggan.


2010
2011
IM2
755.6 K
543.2 K
TSEL
1.4M
4M
AHA
0
75K
Smart
300ribu
450ribu
Jumlah pelanggan Broadband Wireless
 

2010
2011
Speedy
1.2M
1.7M
First Media
300K
500K
Jumlah pelanggan Broadband Wireline

Penetrasi Rendah
Ternyata penetrasi pelanggan di masing-masing operator masih sangat rendah bila dibandingkan dengan pelanggan telepon selular. Sebagai acauan saja untuk penetrasi pelanggan selular di Indonesia sudah mencapai 62 %.
 
Terkait Tarif
Senior Consultant Information & Communication Technologies Frost & Sullivan Indonesia, Iwan Rachmat menambahkan rendahnya pentrasi broadband masih terkendala harga yang tinggi. Menurut Iwan penetapan harga untuk 2MBPS di Indonesia merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan harga yang diterapkan di pasar negara-negara lain.

Sebagai perbandingan, harga paket 2 MBPS di Indonesia harganya mencapai US$ 87,03 per bulan dengan rata-rata menawarkan diskon 5 persen. Jika dibandingkan dengan negara lain seperti Malaysia harganya hanya US$ 51,64 per bulan dengan bundling modem gratis.Sementara itu harga paket 2 MBPS di Filipina hanya US$ 43,27 per bulan dengan tawaran gratis preview IP TV dan dengan diskon panggilan telepon internasional. Paling murah di Thailand dengan harga US$ 21,32 per bulan ditambah potongan harga 2-5 persen."Dengan distribusi fiber yang lebih luas dan meningkatnya kompetisi, harga tinggi yang ditawarkan melalui paket-paket yang tersedia diperkirakan akan mengalami penurunan di masa mendatang," Iwan menyimpulkan.

Terkait Kecepatan
Dari sisi kecepatan yang dijanjikan oleh operator broadband 3.5 G dengan teknologi HSDPA mencapi 3.6 Mbps. Demikian dengan teknologi EVDO rev.0 yang katanya mampu mencapai kecepatan downlink 3.1 Mbps. Tapi apakah benar demikian ? 

Nyatanya tidak, di Indonesia yang memiliki banyaknya operator broadband baik GSM maupun CDMA banyak yang mengkampanyekan mampu mengusung 3G – 3.5G dengan layanan seperti video call, video on demand dan lain-lain tapi hanya memberikan kecepatan setara GPRS yaitu 56 – 114 kbps.  Jadi bisa dibilang untuk kecepatan yang ada tidak sesuai dengan yang dijanjikan.

Terkait kebutuhan?
Bagaimana dengan kebutuhan internet di Indonesia ? apakah berarti dengan penetrasi yang kecil berarti penduduk disini memang belum memerlukan internet broadband. Dari  data pelanggan-pengguna Internet versi APJII. Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia itu mencatat pengguna-pelanggan Internet tahun 2005 sebesar 16 juta 2006 (20 juta), 2007 (25 juta), 2008 (27 juta), dan 2009 (30 juta). Berarti jumlah pelanggan internet yang menggunakan broadband hanya sekitar 10 % saja dari pengguna internet.

Berdasarkan riset presentasi yang dibawakan oleh Regional Director Effective Measure untuk Asia Tenggara, Russell Conrad, pada acara panel diskusi Effective Measure – PPPI, di Jakarta, Jumat 1 April 2011.

Dari hasil riset teranyarnya, Effective Measure, firma yang memiliki spesialisasi dalam pengukuran statistik web, sebanyak 61,88 persen dari pengguna Internet Indonesia mengakses melalui ponsel. Sementara 38,12 persen lainnya mengakses Internet bukan dari ponsel.
Mengacu pada data Effective Measure, pengguna Internet Indonesia tahun 2011 yang mencapai 39.100.000 atau tingkat penetrasi Internet sebesar 17 persen. Berarti pengguna Internet mobile Indonesia mencapai 24.195.080 orang.

Di Asia Tenggara, pengguna mobile web Indonesia ini adalah yang terbesar. Negara-negara lainnya, seperti Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, dan Malaysia, semua pengguna Internetnya mayoritas mengakses melalui perangkat bukan ponsel.

Potensi broadband Wireline
Saat ini memang masih lebih banyak peminat pelanggan broadband wireless dibandingkan broadband wireline. Tapi melihat penetrasi penduduk Negara lain yang lebih memilih broadband wireline, bisa jadi penetrasi di Negara ini juga akan mengikutinya. Hal ini bisa disebabkan karena layanan yang diberikan oleh jaringan broadband wireless masih sangat jauh dari harapan seperti kecepatan akses, ketersediaan jaringan yang tidak merata bahkan masih banyaknya blankspot untuk beberapa area tertentu.

Wireline sendiri masih menjadi primadona untuk penggunaan Hot Spot –Hot Spot kecil diberbagai tempat seperti SOHO (Small Office Home Office) sebagai backbone dari Fixed Wireless Access. Kekuatan utama dari wireline adalah kestablilan jaringan yang tidak dipengaruhi oleh noise frekuensi. Kebutuhan akan akses data yang cepat dan stabil memang hanya bisa didapat melalui pipa koneksi yang stabil dan dedicated. Dan itu belum bisa dipenuhi secara maksmal oleh koneksi wireless yang tersedia meskipun sudah memasuki era 3G, 3.5G bahkan bersiap ke 4G.

Kebutuhan akan penggunaan internet oleh penduduk Indonesia memang besar, hanya saja masih dibawah kouta Negara lain. Apalagi pengguna internet di Indonesia masih lebih banyak menggunakan ponsel dari pada menggunakan perangkat lain. Selain karena praktis dan efisien dari sisi biaya, pemanfaatannya pun masih jauh dari harapan.

Lalu, manakah yang ada akan menjadi pemenangnya ? Tentunya tidak lepas dari pelayan yang diberikan oleh masing-masing operator atau mungkin juga karakter dan sifat penduduk Indonesia.


Penulis,
Bima Indra Gunawan, S.T., M.T.
bimaindra@gmail.com




Saturday, April 2, 2011

Analisa perencanaan dan strategi Telekomunikasi, Studi Kasus: PT Indosat


1. Pendahuluan

Indosat Tbk adalah penyelenggara layanan telekomunikasi dan informasi terkemuka di Indonesia yang menyediakan jasa selular (Mentari, Matrix dan IM3), jasa telekomunikasi tetap atau jasa suara tetap (SLI 001, SLI 008 dan FlatCall 01016, jasa fixed wireless, StarOne, dan layanan telepon tetap, Indosat Phone). Perusahaan juga menyediakan layanan komunikasi Multimedia, Internet & Data (MIDI) melalui anak perusahaannya, yakni Indosat Mega Media (IM2) dan Lintasarta. Indosat juga menjadi pelopor dalam menyediakan layanan selular 3.5G baik pasca bayar maupun prabayar dengan menggunakan teknologi HSPA +. Dan saham Perusahaan tercatat di Bursa Efek Indonesia(IDX: ISAT) dan saham dalam bentuk American Depositary Shares tercatat di Bursa Efek New York (NYSE: IIT).
Perubahan (transformasi) besar di Indosat terjadi pada tanggal 1 Maret 2007, dimana STT menjual kepemilikan saham Indosat sebesar 25% di Asia Holdings Pte. Ltd. ke Qatar Telecom. Hal ini ditindaklanjuti pada tanggal 22 Juni 2008, dimana Qtel membeli semua saham Indosat dari ICL. Hal ini ditandai dengan adanya Share Purchase Agreement tertanggal 6 June 2008 antara Qtel and STT ( sebagai holding ICL , di Singapura. Konsekwensi dari penjualan tersebut adalah sejak saat itu Qtel praktis adalah pemegang saham mayoritas 65 % dari keseluruhan saham Indosat
Mulai 11 Agustus 2009, Indosat berganti nahkoda dari Johny Swandi Sjam menjadi Harry Sasongko Tirtotjondro. Harry sendiri sebelum di Indosat menjadi CEO dari GE Finance, setelah sebelumnya malang melintang di dunia perbankan. Menarik untuk disimak perjalanan Indosat di bawah kendali Harry Sasongko, yang notabene bukan orang telekomunikasi.
Di awal kepemimpinannya Harry Sasongko sendiri membawa 3 strategi barunya, yakni fokus layanan kepada konsumen, sinergi kekuatan yang dimiliki Indosat, dan keselarasan atau harmonisasi. Sebuah strategi berhasil atau tidak tentu akan tercermin dalam laporan keuangan Indosat.
Di tengah persaingan ketat dalam industri telekomunikasi, Indosat berhasil meraup pelanggan di atas 40 juta. Di saat yang bersamaan kompetitor terdekatnya, XL-Axiata mengklaim kalau mereka telah mempunyai pelanggan juga di atas 40 juta dan merebut posisi operator seluler kedua di Indonesia.
Terlepas dari siapa yang sebetulnya nomor 2, yang menarik adalah sepertinya memang Indosat merasa nyaman dengan posisinya selama ini, dan hal ini yang ‘dimanfaatkan’ oleh XL-Axiata untuk ‘jor-joran’ merebut posisinya. Apakah yang salah dengan strategi Indosat selama ini? Ke depan apakah yang bisa dilakukan oleh Indosat agar kelemahannya tidak dimanfaatkan oleh pesaingnya, bahkan agar mampu menjadi pemimpin dalam industri telekomunikasi.
Tren Telekomunikasi dewasa ini ditandai dengan layanan suara dan SMS yang dulunya merupakan primadona sekarang sudah mulai menurun, di lain sisi mesti dicari sumber-sumber pendapatan baru (S-curve baru), semisal Data, untuk menjadi pendapatan potensial perusahaan ke depannya. Apakah strategi yang harus dilakukan Indosat mencermati fenomena ini?

2. Dasar Teori

2.1. Perencanaan dan Strategi Telekomunikasi

Dewasa ini tantangan yang dihadapi oleh operator telekomunikasi adalah strategi yang tepat untuk menghadapi deregulasi yang mengarah ke kompetisi yang sehat (baca: sengit).
Selain itu operator telekomunikasi dihadapkan pada kenyataan kalau pasar telekomunikasi akan berubah dengan cepat yang dipicu teknologi yang modern, seperti pengenalan teknologi 3G & 4G (wireless), migrasi ke platform IP (all-IP), dan juga penggelaran teknologi broadband yang luas.
Penggunaan internet yang meluas telah mengubah telah mengubah aspek komersial operasi dalam industri, dari iklan, sales dan customer care, kesempatan telecommuting buat karyawan, dan komunikasi karyawan.
Operator telekomunikasi harus memilih strategi yang efektif ditengah perang harga dan level churn yang tinggi. Incumbent mau tidak mau harus merangkul kompetisi di tengah deregulasi ini. Dan agar berhasil, operator telekomunikasi harus memilih dan mengambil langkah (resiko) strategis, dan meminimalkan blunder.
Strategi yang harus dicermati yakni mulai dari distribusi, harga, performance, customer service, manajemen teknologi, ekspansi bisnis, kepemimpinan biaya, dan strategi pendanaan.
Strategi yang bisa dilakukan oleh incumbents di antaranya adalah:
  1. Fokus ke pelanggan melalui penggelaran teknologi baru (Customer focus deployment of new technology).
  2. Menyediakan kualitas layanan yang tertinggi (providing highest quality service), jika tidak bisa mengancam posisi brand produknya dan ditinggalkan pelanggannya.
  3. Tarif yang agresif dan penghematan biaya tanpa menciptakan perang harga yang berjangka lama (Aggressive price and cost cutting without creating long-term price wars).
  4. Dukungan manajemen untuk mengambil resiko terkait strategi yang dijalankannya (Management’s willingness to take a risk)
    Tren  menarik yang dilakukan operator telekomunikasi untuk strategi growth mereka adalah merger dan akuisisi.
    Strategi yang juga penting bagi Operator telekomunikasi dalam mencapai tujuannya adalah bagaimana perusahaan melihat letak (positioning) dari perusahaan (unit bisnisnya) dengan memperhatikan ukuran pasar (market size) dan pangsa pasar (market share). Alat yang berguna untuk menentukan positioning dari (portofolio) perusahaan adalah matriks Boston Consulting Group (BCG).

    2.2. Matriks Boston Consulting Group (BCG)

    Matriks Boston Consulting Group (BCG) adalah sebuah alat (matriks) yang dikembangkan oleh perusahaan konsultasi manajemen swasta yang berbasis di Boston. Matriks ini secara khusus dirancang untuk membantu upaya-upaya perusahaan multidivisional dalam merumuskan strategi yang tepat terhadap masing-masing divisi (unit bisnis) yang dimilikinya.1
    Matriks BCG secara grafis menggambarkan perbedaan antardivisi dalam hal posisi pangsa pasar relatif dan tingkat pertumbuhan industri. Matriks BCG memungkinkan sebuah organisasi multidivisional mengelola portofolio bisnisnya dengan cara mengamati posisi pangsa pasar relatif dan pertumbuhan industri dari setiap divisi relatif terhadap semua divisi lain di organisasi.
    Gambar 2.1. Matriks Boston Consulting Group (BCG).1
    Penjelasan dari setiap kuadran dalam matriks BCG:1
    Question Marks: divisi-divisi di kuadran I memiliki posisi pangsa pasar yang relatif rendah, namun mereka bersaing di industri dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi. Bisnis ini dinamakan tanda tanya (Question Marks) karena organisasi harus memutuskan apakah hendak memperkuat bisnis dengan strategi yang intensif (penetrasi pasar, pengembangan pasar, atau pengembangan produk), atau menjualnya.
    Star: Bisnis-bisnis di kuadran II (Bintang atau “Star”) menggambarkan peluang pertumbuhan dan profitabilitas jangka panjang terbaik organisasi. Divisi dengan pangsa pasar yang relatif tinggi dan tingkat pertumbuhan industri yang tinggi harus memperkuat investasi yang substansial untuk memperkuat atau mempertahankan posisi dominan mereka.
    Cash Cow: divisi-divisi yang berada di kuadran III memiliki posisi pangsa pasar yang relatif tinggi tetapi bersaing di Industri dengan tingkat pertumbuhan yang rendah. Dinamakan Sapi Perah Kas (Cash cow) karena divisi ini menghasilkan cash-inflow yg melebihi kebutuhan dan sering “diperah”. Pengembangan produk atau diversifikasi bisa menjadi strategi yang menarik, namun ketika Cash Cow melemah, penciutan atau divestasi bisa jadi lebih sesuai.
    Dog: Divisi-divisi di Kuadran IV organisasi memiliki posisi pangsa pasar yang relatif rendah dan bersaing dalam industri yang tumbuh lambat atau sama sekali tidak tumbuh. Divisi-divisi inilah yang dinamakan Anjing (Dog) dalam portofolio perusahaan. Oleh karena posisi internal dan eksternal mereka yang lemah, bisnis ini seringkali dilikuidasi, didivestasi atau dipangkas melalui penciutan.

    3. Permasalahan (Analisa Keuangan dan Operasional Indosat)

    3.1. Analisa keuangan Indosat (bulan ke-9 tahun 2010)

    Gambar 3.1. Pendapatan operasional Indosat.6

    Dari gambar di atas bisa disimpulkan kalau pendapatan utamanya Indosat yakni dari bisnis Cellular mendapat kenaikan sebesar 16.6%, sementara pendapatan dari bisnis Indosat yang lain yakni MIDI dan Fixed Telecommunication turun. Perlu dicari strategi apa yang tepat agar keberadaan bisnis yg lain selain Cellular tidak malahan membebani bisnis utamanya, dan bahkan bisa memberikan nilai tambah yang berarti kepada Indosat. Berdasarkan informasi laporan keuangan Indosat diketahui bahwa salah satu faktor penyebab turunnya pendapatan di Fixed Telecommunication adalah penurunan dari non-Indosat originated traffic disamping pendapatan FWA yang menurun. Sementara penurunan pendapatan dari bisnis MIDI disebabkan oleh meningkatnya tekanan kompetisi yang berimbas pada pengetatan tarif Internet, IPVPN, MPLS dan jasa Leased Line.

    3.2.Analisa operasional Indosat

    3.2.1. Cellular

    3.2.1.1. Total cellular Subscriber
    Gambar 3.2. Total subscriber seluler Indosat & XL-Axiata. 4&5

    Dari gambar di atas terlihat bahwa jumlah subscriber Indosat untuk Full year 2010 sudah semakin didekati oleh XL-Axiata, ini artinya sebagai incumbent operator nomor 2, Indosat tidak boleh lengah dan perlu mempersiapkan berbagai strategi yang tepat di tahun ini agar posisinya tidak disalip oleh XL-Axiata.

    3.2.1.2. BTS
    Gambar 3.3. Jumlah BTS Indosat & XL-Axiata. 4&5

    Dari segi jumlah BTS ternyata Indosat masih tertinggal dibanding kompetitor terdekatnya yakni XL-Axiata.

    3.2.1.3. ARPU


    Gambar 3.4. ARPU Indosat. 6

    ARPU Indosat (blended) turun hanya menjadi sekitar 35ribu rupiah.

    3.2.2. Fixed Data (MIDI)

    Gambar 3.5. Highlight operasional bisnis MIDI Indosat. 6

    Dari sektor MIDI yang mengalami penurunan kapasitas antara lain Frame Relay, Highspeed Leased Line. Dan juga yang mengalami penurunan yakni anak perusahaan Indosat IM2 yang mencatat penurunan pengguna internet Dial Up nya. Selain itu jumlah link untuk Internet Dedicated dan IPVPN juga mengalami penurunan.

    3.2.3. Fixed Telecommunication

    Gambar 3.6. Highlight operasional bisnis Fixed Telecommunication Indosat. 6

    Indosat juga mengalami penurunan  dari total trafik IDD, dan untuk FWA mengalami kenaikan jumlah pelanggan menjadi sekitar 722.606, akan tetapi jika dibandingkan dengan jumlah pelanggan FWA keseluruhan sebanyak 30juta, maka jumlah tersebut menjadi sangat kecil. Perlu dipertimbangkan strategi yang tepat untuk bisnis FWA Indosat.

    4. Beberapa tren bisnis Telekomunikasi di Indonesia

    Untuk mempertajam analisa strategi Indosat ke depannya di bab ini ditampilkan hasil riset dari Frost & Sullivan, ICT Consulting Practice, yang berjudul “The Indonesian Telecommunication Industry”, 2010. Berikut beberapa potret Telekomunikasi Indonesia di 2010 dan juga tren industri wireless ke depannya.9

    4.1. Average Revenue Per User (ARPU)

    Average Revenue Per User (ARPU) blended dari operator telekomunikasi di Indonesia terus turun semenjak 2006, hingga ke level 3.33 USD di 2010. Hal ini menunjukkan tren komunikasi suara dan SMS yang mulai mengalami perlambatan.
    Gambar 4.1. Average Revenue Per User (ARPU) operator telekomunikasi di Indonesia.9

    4.2. Profil pelanggan wireless di Indonesia

    Menurut riset yang dilakukan oleh Frost & Sullivan di Indonesia dari tahun ke tahun terjadi peningkatan jumlah pelanggan wireless (2G, 2,5G, dan 3G). Hal ini menunjukkan pasar mengalami pertumbuhan sebesar 31.5%. Angka ini akan dipakai sebagai analisa matriks BCG untuk divisi FWA Indosat.
    Gambar 4.2. Pelanggan wireless di Indonesia. 9

    4.3. Pendapatan industri wireless di Indonesia

    Masih menurut Frost & Sullivan, terjadi peningkatan jumlah pendapatan DATA, sementara di sisi lain pendapatan SUARA relatif flat.
    Gambar 4.3. Pendapatan industri wireless di Indonesia. 9

    4.4. Profil pengguna mobile broadband di Indonesia

    Terlihat kalau pengguna wireless broadband di Indonesia cukup banyak dengan angka 17.1 %.
    Gambar 4.4. Penetrasi pasar mobile broadband di Indonesia. 9

    4.5. Proyeksi pendapatan industri wireless di Indonesia

    Gambar di bawah ini memperlihatkan kalau selama  4 tahun ke depan pendapatan industri wireless akan terus tumbuh, yang didominasi kenaikannya oleh Data (18.9%) baru kemudian Suara (hanya 2.93%).
    Gambar 4.5. Proyeksi pendapatan industri wireless di Indonesia. 9

    5. Perumusan dan perencanaan strategi Indosat

    Dari pembahasan bab sebelumnya dapat disimpulkan kalau Indosat mengalami  beberapa permasalahan sebagai berikut:

    5.1. Menambah jumlah network (Network Expansion)

    Untuk bisnis Cellular, pendapatan meningkat, akan tetapi jumlah pelanggan semakin didekati pesaing terdekatnya yakni XL-Axiata. Indosat mempunyai jumlah BTS yang jauh lebih sedikit dibandingkan kompetitor terdekatnya, hal ini secara tidak langsung berpengaruh ke kualitas network yang diberikan Indosat kepada pelanggannya.
    Indosat bisa belajar dari strategi XL-Axiata dalam melesatkan pertumbuhan pelanggannya. Hasnul Suhaimi, CEO XL-Axiata, menggambarkan strateginya dengan istilah 123, artinya ia ingin menjadikan XL-Axiata nomor 1 dalam kualitas jaringan dan layanan, nomor 2 dalam revenue share, dan itu harus dicapai dalam waktu 3 tahun. Terbukti dari 3 tahun semenjak kepemimpinannya (2006), XL-Axiata mampu mendekati jumlah pelanggan Indosat. Semenjak TM Malaysia masuk ke XL, XL gencar membangun jaringan ke seluruh Indonesia, mengejar ketertinggalan dari operator-operator lain. Dengan bekal desain yang dipersiapkan sejak 2004, tim network di bawah kepemimpinan Dian Siswarini, Director of Network Services, mempercepat pengembangan jaringan secara spartan. Bahkan pada tahun 2007, XL mampu membangun hingga 5000 menara BTS dalam satu tahun. Hingga kini, bukan hanya mengejar, tetapi bahkan XL sudah mampu melampaui Indosat dalam hal jumlah BTS-nya.

    5.2. Mencari kurva-S baru


    Disisi lain ARPU yang terus turun (didominasi voice dan SMS) menekankan urgensi diperlukannya mencari sumber pertumbuhan pendapatan yang baru.
    Dalam blog pribadinya, CEO XL-Axiata menerangkan pertumbuhan di XL-Axiata dengan menggunakan kurva-S, seperti gambar di bawah:
    Gambar 5.1. S-Curve untuk pertumbuhan XL-Axiata.3

    Angka 1 dan 2 adalah menunjukkan proses pertumbuhan XL, dan terus berlanjut hingga angka ke-3. Pertumbuhan ini yang menyebabkan XL-Axiata bisa mengejar ketertinggalan jumlah pelanggan dibandingkan Indosat. Namun kini XL-Axiata sudah mendekati kondisi mature, artinya masa kejayaan voice dan SMS lambat laun sudah mulai menurun.
    Kondisi yang sama dialami Indosat, yakni Indosat sudah mendekati masa mature (untuk layanan voice dan sms). Dalam kondisi seperti ini, Indosat mesti berpikir keras untuk terus tumbuh, karena kalau tidak tumbuh maka pelan namun pasti akan stagnan atau melemah lalu mati. Pada kondisi mendekati maturity seperti ini, perusahaan harus segera semaksimal mungkin mencari sumber pertumbuhan baru (second “S Curve”).Bagi perusahaan operator layanan seluler, sumber pertumbuhan selain dari layanan voice dan SMS harus segera dicari. Selanjutnya, satu hal yang tidak kalah penting untuk dilakukan adalah efisiensi baik belanja modal (capital expenditure) maupun biaya operasional (operating expenditure). Efisiensi perlu dilakukan agar perusahaan mendapatkan cash flow dan net income yang lebih besar. Jadi line of business yang sudah saturasi menjadi cash cow untuk digunakan membiayai investasi second “S Curve”.

    5.3. Menggenjot bisnis DATA (MIDI)


    sektor bisnis yang potensial mendatangkan pertumbuhan pendapatan buat Indosat yakni Data (MIDI) khususnya IM2 malahan mencatat penurunan jumlah pelanggan dan jumlah link-nya. Strateginya adalah menggencot pertumbuhan pelanggan data (IM2)

    5.4. Strategi bisnis FWA Indosat (Analisa matriks BCG)


    untuk sektor bisnis Fixed Telecommunication yang paling menonjol adalah bisnis FWA Indosat yang pangsa pasarnya sangat kecil yakni sekitar 2% dari pangsa pasar FWA keseluruhan. Angka tersebut semakin kecil jika dibandingkan dengan pasar pelanggan wireless secara keseluruhan. Sementara dari gambar 4.2 terlihat kalau pasar wireless secara total tumbuh diatas 20%.
    Dalam matriks BCG posisi dari divisi FWA Indosat sendiri bisa diletakkan di kuadran I (Question Marks), Hal ini dikarenakan divisi FWA Indosat mempunyai pangsa pasar yang sangat kecil di tengah-tengah industri wireless yang bertumbuh pesat.
    Gambar 5.1. Analisa Matriks BCG untuk divisi FWA Indosat

    Indosat harus memutuskan apakah hendak memperkuat bisnis Divisi FWA dengan strategi yang intensif (penetrasi pasar, pengembangan pasar, atau pengembangan produk), atau menjualnya.
    Dalam sebuah kesempatan, Presiden Direktur Indosat Harry Sasongko, mengaku  ingin mengoptimalkan bisnis FWA (StarOne)  agar tidak menjadi aset tidur yang memberatkan perusahaan. Saat ini pilihan yang tersedia adalah mencari mitra strategis atau melepas sebagian kepemilikan di StarOne. Sedangkan berharap induk usaha, Qatar Telecom, untuk menginjeksi dana sepertinya hal yang mustahil karena fokus selama ini ke jasa seluler. Indosat sendiri belum bisa mengungkap strategi apa yang akan dipakai, karena masih melakukan pengkajian terlebih dahulu.10
    Alternatif strategi lain yang juga menarik adalah mengoptimalkan Starone untuk pelanggan Data, mengingat potensi pertumbuhan data yang sangat potensial.

    6. Kesimpulan dan Saran


    Indosat harus menambah jumlah jaringannya (BTS) karena jumlah BTS berkorelasi dengan kualitas network, kualitas network berkaitan dengan kualitas layanan yang diberikan Indosat terhadap pelanggannya. Kualitas layanan Indosat berkaitan dengan kesetiaan pelanggan Indosat terhadap Indosat. Apalagi di Indonesia untuk mengganti kartu dan potensi kartu hangus (churn rate) sangat tinggi, jadi apabila tidak pandai-pandai menjaga kualitas network, maka pelanggan berpotensi untuk berpindah ke operator lain.
    Indosat menyadari kalau pertumbuhan layanan utama yang didominasi voice dan SMS sudah mendekati mature, maka harus dicari layanan baru selain layanan voice dan SMS. Salah satu layanan yang bisa dioptimalkan adalah DATA. Indosat mesti menggenjot pertumbuhan pelanggan datanya, baik melalui seluler (misal menggenjot pertumbuhan pelanggan Blackberry), maupun dari anak perusahaan datanya, yakni IM2. Terkait divisi FWA-nya, Indosat diharapkan melakukan terobosan agar tidak menjadi aset tidur yang memberatkan perusahaan.

    Penulis
    Raden Kurnia Supriadi
    Kurnia.Supriadi@gmail.com
    @Raden_Kurnia_ui

    Daftar pustaka

    1. David, Fred R; Manajemen Strategis Buku 1 Edisi 12, 2009, Salemba Empat .
    4. Indosat FY10 Result
    5. XL FY10 Result
    6. Indosat info memo 09M2010
    7. XL 09M10 Info memo
    11. Kasali, Rhenald; Cracking Zone, 2010, Gramedia Pustaka Utama.

    Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

     
    Powered by Blogger