Tuesday, February 22, 2011


PT. LEN INDUSTRI (PERSERO), CRACKER BUMN TEKNOLOGI


Tak sengaja saya menemukan situs Lembaga Elektronika Nasional,  sebuah BUMN yang bergerak di bidang industri teknologi. Tadinya saya bermaksud membuat tulisan tentang kebangkitan industri Telekomunikasi Indonesia dengan mencari data di berbagai situs. Dalam benak saya sebelumnya, LEN tak lain hanyalah industri strategis milik negara yang tak beda dengan industrI pelat merah lainnya yang sedang dalam kondisi mati segan hidup tak mau. Tak lama anggapan saya mulai memudar, ketika saya mulai membuka  halaman produk navigasi dan Telekomunikasi, ternyata LEN masih memproduksi beberapa produk yang diantaranya adalah berupa sistem meteorologi, Asset Tracking dan E-learning system, Broadcasting, sistem Navigasi dan Telekomunikasi. Makin penasaran,  saya membuka halaman telekomunikasi dan benarlah harap-harap cemas saya ternyata LEN telah memiliki produk broadband Wimax pada band 3.3MHz  dengan nama produk LenMAXd.

                Pada halaman download dan menemukan laporan tahunan LEN (kini telah berubah nama menjadi PT. Len Industri (persero)) untuk Tahun 2009. Dari laporan tahunan tersebut saya menemukan hal-hal menarik untuk pembelajaran.

                Lembaga Elektronika Nasional (LEN) pada awalnya merupakan salah satu unit penelitian dan pengembangan di lingkungan LIPI, yang mencakup bidang-bidang elektronika, tenaga listrik, telekomunikasi dan komponen. Berdasarkan PP No. 16 Tahun 1991, setelah sebelumnya sempat berubah status menjadi Unit produksi LEN-BPIS, LEN berubah manjadi perusahaan perseroan yaitu PT. Len Industri (persero).  Pada tahun 1998, dengan PP No. 35 Tahun 1998, PT. Len Industri sempat diubah menjadi anak perusahaan PT. Bahana Pakarya Industri Strategis (PT. BPIS). Seiring dengan dibubarkannya PT. BPIS, PT. Len Industri kembali menjadi perusahaan persero pada tahun 2002.

                PT. Len Industri (persero) saat ini dipimpin oleh Ir. Wahyuddin Bagenda, pria kelahiran tahun 1961 ini telah menjadi Direktur Utama sejak tahun 2007.  Memulai karir pada tahun 1987 di puslitbang TELKOMA – LIPI yang merupakan salah satu cikal bakal PT. LEN Industri. Pada tahun 2008. LEN melakukan restrukturisasi organisasi dalam rangka mengakomodai transformasi bisnis dari perusahaan kontraktor menjadi perusahaan manufaktur setelah sebelumnya pada tahun 2006 mengambil alih 75% saham PT. Eltran Indonesia dari koperasi karyawan dan pensiunan Len. Selanjutnya pada tahun 2009, Len mengakuisisi PT. Surya Energi Indotama dan PT. Interlokindo Utama agar dapat mengambil alaih peran Len sebagai kontraktor utama di bidang renewable energy dan kontraktor persinyalan. Di sisi internal pada tahun 2009 dibentuk Divisi Pengembangan untuk memperkuat inovasi produk unggulan Len.

                Pada tahun 2009 dengan jumlah karyawan hanya 383 orang, PT. Len Industri (persero) telah membukukan pendapatan tertinggi sepanjang sejarah Len. Len berhasil membukunan pendapatan sebesar Rp. 893,64 Milyar atau 146,07% dari target atau 178.3% dari tahun sebelumnya (2008). Dengan laba bersih Rp. 15.96 Milyar yang meningkat 134.8% dari laba bersih tahun 2008 sebesar Rp. 11.84Milyar. Selain itu pada tahun 2009 pun, Len telah berhasil memperoleh kontrak baru konsolidasi sebesar Rp. 766,6 milyar atau meningkat 23,86% jika dibandingkan tahun 2008.

Pendapatan dan Laba PT. Len Industri (persero) 2005 – 2009 (Annual Report 2009)

                Peningkatan pendapat dan laba PT. Len industri (persero) dengan tren seperti diatas telah menunjukan bahwa transformasi LEN telah bergerak menuju kearah yang benar. Saya mencoba mengnalisa faktor-faktor yang  mendukung kesuksesan tranformasi Len, yaitu : 

1.     Visi dan Misi yang sederhana namun “membumi”, ditambah dengan pernyataan peran strategis perusahaan telah membentuk arah dan tujuan perusahaan menjadi sangat jelas yaitu perusahaan elektronika yang selalu berinovasi untuk manjaga kedaulatan Negara, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mendukung pertahanan dan keamanan Negara.

Visi, Misi dan Peran Strategis PT. Len Industri (persero) 

2.       Melakukan evaluasi dan langkah-langkah terhadap kemampuan internal: 
a.       Membuat bidang usaha berdasarkan kompetensi perusahaan : 
  • Sistem Pengendalian & Pertahanan 
  • Energi Terbarukan 
  • Navigasi dan Telekomunikasi
  • Sistem Transportasi 
  • Membuka lini-lini bisnis lain sebagai pembuka jalan ke arah pasar baru 
b.    Meningkatkan produktivitas tenaga kerja
  • Pengembangan Database pemetaan karyawan terkait dengan kompetensi, formasi, reposisi dan recruitment
  • Penilaian/evaluasi performansi karyawan
  • Implementasi sasaran kerja individu dan Job Card
  • Mengembangkan kompetensi karyawan melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan (internel, ekternal, dalam negeri, luar negeri, dll) 
c.       Membentuk dan menjalankan internal auditor
d.      Manjalankan program pengawasan dengan pembentukan komite-komite
  • Komite Audit
  • Komite Remunerasi
  • Komite Asuransi dan Resiko Usaha
3.       Melaksanakan evaluasi dan langkah terhadap perkembangan bisnis ekternal, diantaranya adalah menangkap peluang dari:
a.       Bisnis Renewable energy, khususnya energi berbasis tenaga surya
b.      Bisnis persinyalan kereta api
c.       Bisnis e-learning dan simulator
d.      Kebijakan TKDN pemerintah
4.    Menetapkan tujuan jangka panjang dari transformasi yaitu merubah perusahaan kontraktor menjadi perusahaan manufaktur dengan fokus kegiatan pada produk manufaktur di bidang renewable energy dan Persinyalan.
 
Komposisi Pendapatan PT. Len Industri (persero) tahun 2009  (Annual Report 2009)

5.       Menciptakan dan dan memilih strategi perusahaan yang harus dievaluasi oleh dewan komisaris
6.       Mejalankan Strategi perusahaan yaitu
a.       Membentuk Divisi Pengembangan untuk memperkuat produk inovasi unggulan Len
b.      Mengakuisisi perusahaan-perusahaan yang sesuai dengan tujuan jangka panjang perusahaan
c.       Menetapkan anggaran pendapatan per-bidang usaha sebagai target tahunan dan bahan evaluasi di akhir tahun.
7.       Melakukan evaluasi kinerja perusahaan secara berkala:
a.       Evaluasi kinerja bulanan
b.      Evaluasi dan rapat dengan agenda khusus: SDM, Strategi Keuangan dan Pendanaan proyek, dan evaluasi jabatan fungsional.
c.       Evaluasi terhadap calon direksi anak perusahaan
d.      Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)

Kembali ke bidang Telekomunikasi, sangat disayangkan menurut laporan tahunan tersebut bidang broadcasting dan telekomunikasi hanya membukukan pendapatan sebesar 0.489 % dari total pendapatan PT. Len Industri (persero), yaitu hanya sebesar Rp. 4,35 Milyar. Padahal jika dilihat prestasinya saat ini, Len telah dapat memproduksi pemancar TV digital dan dua jenis WiMAX, yakni fixed WiMAX 802.16d maupun mobile WiMAX 802.16e. Wimax Len bahkan menjadi favorit dalam workshop WiMAX dan jaringan Wireless di Asian Institute of Technology (AIT) Thailand pada oktober 2009. Menurut Wahyudin Bagenda dalam wawancaranya dengan salah satu penulis, perkembangan industri telekomunikasi Len saat ini masih terhambat oleh dukungan pemerintah yang masih setengah-setengah. Dimana di satu sisi peraturan pemerintah telah mendukung peran industri nasional dengan TKDN, namun di sisi pelaksanaan masih banyak wakil pemerintah yang justru mempermudah dan bahkan mendukung produk luar untuk tetap masuk kedalam proyek-proyek telekomunikasi nasional.

Sebagai penutup, saya hanya ingin berharap bahwa cracker seperti Wahyuddin Bagenda dapat menjadi salah seorang pelopor bagi kebangkitan industri manufaktur nasional sehingga dapat menjadi tuan rumah di negeri sendiri, atau paling tidak menjadi inspirasi bagi kami untuk tetap menjaga idealisme kebangkitan industri nasional.


Ditulis berdasarkan sumber laporan tahunan PT. Len industri (persero) tahun 2009 dan beberapa sumber lain dengan referensi buku Managemen Strategis, Konsep edisi ke 12 karya  Fred R. Davids.

Yovi Manova

Monday, February 21, 2011

BRTI : Refleksi Pertelekomunikasian Indonesia


“Strategi tanpa taktik adalah jalan paling lambat untuk meraih kemenangan. Taktik tanpa strategi adalah sebuah keributan belaka sebelum akhirnya kalah.” (Seperti yang pernah dikatakan Sun Tzu ribuan tahun silam) tampaknya perlu menjadi perhatian stakeholder, khususnya bagi policy making dalam mengantisipasi perkembangan ICT di Indonesia, sehingga sektor ICT yang diharapkan banyak pihak dapat berfungsi optimal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi demi terciptanya kemakmuran/kesejahteraan rakyat .
Indonesia merupakan Negara ke-empat dengan jumlah penduduk terbesar setelah China, India dan Amerika Serikat yaitu sebesar 237.556.363 jiwa di tahun 2010. (Sumber: Data Biro Pusat Statistik Indonesia: Hasil Sensus Penduduk tahun 2010). Sebagai negara kepulauan yang terdiri dari sekitar 17.500 pulau besar dan kecil, wilayah Indonesia terbentang sejauh 6.400 km dari Barat ke Timur dengan luas sekitar 1,9 juta km2 dan terbagi dalam 33 provinsi. Kondisi sosial dan geografis yang demikian luas dan menyebar diiringi dengan laju pertumbuhan PDB (Produk Domestik Bruto) per kapita yang mencapai angka sebesar 24,3 juta Rupiah (US$2.590,1) pada akhir tahun 2009, menjadikan Indonesia sebagai pasar yang sangat potensial bagi berbagai jenis produk barang dan jasa di bidang Telekomunikasi. (Sumber: Biro Pusat Statistik Indonesia: Data Strategis tahun 2010)
Sekitar satu setengah dekade yang lalu, PT Telkom, suatu badan usaha milik negara, menjadi satu-satunya penyedia dan penyelenggara telekomunikasi di Indonesia. Hingga tahun 1990-an, baru sekitar 6 juta penduduk yang memiliki akses telekomunikasi. Salah satu penyebab lambatnya pertumbuhan teledensitas di Indonesia adalah mahalnya pembangunan jaringan kabel untuk kondisi geografis yang ada. Sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), PT Telkom mengemban tugas meningkatkan akses masyarakat terhadap telekomunikasi melalui Public Service Obligation (PSO). Pada kondisi ini, tarif sepenuhnya ditetapkan oleh Pemerintah.  
Liberalisasi sektor telekomunikasi di Indonesia dimulai pada tahun 1995. Pada saat itu, pemerintah mengijinkan perusahaan telekomunikasi swasta beroperasi di wilayah Indonesia. Sejak saat itu, industri telekomunikasi mulai berkembang. Kemudian duabelas tahun lalu telekomunikasi Indonesia memasuki sejarah baru. Dimana dengan lahirnya Undang-undang Nomor 36/1999 tentang Telekomunikasi, sektor ini resmi menanggalkan privilege monopolinya untuk segera bertransisi ke era kompetisi. Kompetitor baru pun diundang masuk menjadi operator jaringan maupun jasa di sektor ini. Banyak kalangan berlega hati menyambut lahirnya undang-undang telekomunikasi tersebut. Apalagi tahun itu lahir juga Undang-undang Nomor 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. (Sumber: situs resmi BRTI)
Perkembangan teledensitas yang cukup tajam terjadi sejak tahun 2004, pada saat teknologi Code division multiple access (CDMA) mulai beroperasi. Sampai saat ini, tercatat telah ada 12 operator selular yang beroperasi, 8 operator berbasis teknologi Global System for Mobile Communications (GSM) dan 4 berbasis teknologi CDMA.
Namun ternyata kompetisi telekomunikasi yang sehat dan terbuka masih jauh panggang dari api. Dilihat dari jumlah operator yang ada, tampaknya sudah terjadi kompetisi yang terbuka untuk pasar telekomunikasi. Tetapi kalau dicermati dari pangsa pasarnya, pasar ini hanya dikuasai oleh sedikit operator. Pada saat itu, untuk GSM, Telkomsel menguasai sekitar 50 persen pasar dan diikuti oleh Indosat (23 persen) dan Excelcomindo (17 persen). Sementara untuk CDMA, Telkom Flexy menguasai sekitar 60 persen pasar dan diikuti oleh Bakrie Telecom (36 persen) dan Indosat (3 persen).
Hal ini memunculkan wacana di tengah masyarakat pertelekomunikasian mengenai perlunya pembentukan badan regulasi yang independen. Sebuah Badan Regulasi Mandiri (IRB-Independent Regulatory Body) yang diharapkan dapat melindungi kepentingan publik (pengguna telekomunikasi) dan mendukung serta melindungi kompetisi bisnis telekomunikasi sehingga menjadi sehat, efisien dan mampu menarik para investor.
Dalam era kompetisi yang ditandai dengan meningkatnya peran swasta selaku penyelenggara jaringan atau jasa telekomunikasi (era multioperator), maka dibutuhkanlah sebuah lembaga yang mengatur dan menjalankan fungsi regulasi, pengawasan dan pengendalian yang bersifat sangat professional dan independent untuk menjamin terdapatnya perlindungan konsumen, lingkungan persaingan yang adil, serta tercapainya tujuan pembangunan telekomunikasi di Indonesia. Syarat utama dari badan regulasi independen adalah:

·         Badan regulasi independen harus terpisah dari operator.
·         Adanya peraturan pemerintah yang jelas mengenai status dan kedudukan regulator independen.
·         Pelaksanaan kebijakan dituntun oleh Undang-Undang, sedangkan Menteri Sektoral hanya berfungsi untuk memberi arahan dan tidak mencampuri tugas sehari – hari regulasi.

Di dalam WTO reference paper dinyatakan bahwa “The regulatory body is separate from, and not accountable to, any supplier of basic telecommunication services. The decisions of and the procedures used by regulators shall be impartial with respect to all market participants.” (badan regulasi terpisah dari, dan tidak berhubungan dengan penyelenggara jasa telekomunikasi dasar. Keputusan regulator dan prosedur yang digunakan oleh regulator harus adil dalam penerapannya terhadap peserta pasar). (Sumber: situs resmi WTO)
UU No.36 tahun 1999 Pasal 5 menjelaskan bahwa dalam rangka pembinaan telekomunikasi maka pemerintah melibatkan peran serta masyarakat yang diselenggarakan oleh lembaga mandiri yang dibentuk untuk maksud tersebut. Oleh karena itu pemerintah Indonesia membentuk badan regulasi independen yang dikenal dengan nama Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) melalui Keputusan Menteri Perhubungan No. 31 Tahun 2003 tentang penetapan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) yang kemudian diubah menjadi Peraturan Menteri Kominfo No. 25/Per/M.Kominfo/11/2005 tentang Perubahan Pertama atas Keputusan Menteri Perhubungan No. 31 Tahun 2003 tentang Penetapan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia.
Pada 11 Juli 2003 akhirnya pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Perhubungan No. 31/2003 tentang penetapan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia. Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (disingkat BRTI) adalah sebuah lembaga yang berfungsi sebagai regulator bagi pertelekomunikasian di Indonesia. Lembaga ini merupakan terjemahan IRB versi pemerintah yang diharapkan akan menjadi suatu Badan Regulasi yang ideal dalam menyelesaikan berbagai permasalahan di bidang Telekomunikasi.
Sebagai salah satu institusi penting dalam lingkup pelayanan publik yang bersifat regulator, BRTI seharusnya menjadi lembaga imparsial dan independen yang mempunyai misi atau tugas memastikan bahwa proses kompetisi berjalan dengan memberikan keuntungan yang optimal secara seimbang dan proporsional, di antara para pihak yaitu:

·         Pelaku industri telekomunikasi (operator).
·         Masyarakat konsumen sebagai pihak yang menerima produk barang/jasa yang dihasilkan oleh pelaku industri telekomunikasi.
·         Pemerintah (dan/atau Pemerintah Daerah) sebagai pihak yang berkepentingan atas dibuatnya regulasi, berkenaan dengan jaminan untuk memberikan peningkatan kebaikan pelayanan kepada masyarakat konsumen.
·         Masyarakat umum, sebagai pihak di mana seluruh pelaku berada.

Badan Regulator yang independen juga memiliki beberapa manfaat lain, diantaranya adalah adanya kontinuitas kebijakan ditengah terjadinya pergantian Menteri atau Dirjen, adanya integrasi antara fungsi pengaturan, pengawasan dan pengendalian, dan kemandirian dalam mengembangkan kualifikasi profesionalnya dengan dukungan SDM yang berkualitas.
Namun ternyata permasalahan tidak selesai sampai disitu saja, komentar yang banyak muncul kemudian adalah pemerintah dianggap setengah hati karena salah satu personel BRTI sekaligus menjadi Ketua adalah Dirjen Postel. Bahkan Keputusan Menteri Perhubungan No. 31/2003 tersebut (yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 25/Per/M.Kominfo/11/2005 tentang Perubahan Pertama atas Keputusan Menteri Perhubungan No. KM.31 tahun 2003 tentang Penetapan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia) juga tidak memberi wewenang eksekutor kepada BRTI. Hal tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri Perhubungan No. 67 Tahun 2003 tentang Tata Hubungan Kerja antara Departemen Perhubungan dengan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia sehingga memunculkan pertanyaan terhadap efektivitas BRTI dalam mengawal kompetisi industri telekomunikasi.
(Sumber: BRTI)
Pertanyaan ini kelak akan menjadi tidak relevan, ketika BRTI dapat menunjukkan kinerjanya yang profesional dan independen terhadap semua pihak, tanpa kecuali.
Kesediaan pemerintah untuk membentuk suatu lembaga regulasi yang betul-betul independen masih sangat dipertanyakan. Namun terlepas dari polemik di atas, menjadi tugas bersama untuk mendorong agar BRTI yang sudah terbentuk ini dapat bekerja maksimal sehingga dapat memacu perkembangan industri telekomunikasi lewat iklim kompetisi yang sehat, meningkatkan efisiensi dari penerapan teknologi dan pemanfaatan sumber daya telekomunikasi yang terbatas serta memproteksi kepentingan publik baik melalui produk hukum dan regulasi maupun melalui implementasi dan sikap proaktif di lapangan.
Yang sering dilupakan oleh banyak kalangan adalah mengapa timbul ketidakpercayaan pada pemerintah. Bila rendahnya kinerja sebuah struktur hukum disebabkan praktek KKN/korupsi dianggap sebagai biang keladi, tentu biang keladi itu yang seharusnya diberantas. Penggantian sebuah struktur hukum dalam prakteknya selama ini ternyata tidak menjamin praktek haram seperti itu tidak terjadi. Independensi sering diukur dengan sejauh mana keterlibatan masyarakat dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, baik terhadap fungsi pengaturan, pengawasan maupun fungsi pengendalian.
Tidak hanya itu, sebagai bagian dari lingkungan dunia, BRTI juga harus menyesuaikan diri dengan lembaga regulasi di berbagai Negara dan memastikan produk hukumnya tidak bertentangan dengan aturan Internasional. Oleh karena itu, tentu model struktur hukum di beberapa negara patut untuk menjadi pertimbangan, apalagi sektor seperti ICT bersifat borderless. Praktek di dalam negeri juga patut diperhitungkan, karena kenyataan juga berbeda padahal dalam sebuah konstitusi yang sama , yaitu UUD 1945.
Untuk itu maka BRTI masih memiliki banyak pekerjaan yang harus dituntaskan. Salah satunya adalah mempersiapkan RUU Konvergensi Telematika sebagai inisiatif pemerintah. Selain itu, BRTI juga harus menyiapkan Peraturan Menteri dan Peraturan Dirjen Postel sebagai basis regulasi evaluasi kualitas pelayanan jasa telekomunikasi (QoS) yang berdasar PP No. 7/2009. Dimana harus memuat antara lain jika terjadi pelanggaran standar kualitas layanan minimal dengan tidak tercapainya komitmen pembangunan serta hambatan dalam pembukaan interkoneksi maka akan dikenakan sanksi denda.
Hal lain yang harus dituntaskan ole BRTI adalah mempersiapkan regulasi terkait implikasi rencana implementasi perubahan BHP Frekuensi dari Ijin Stasiun Radio ke berbasis pita dimana salah satunya adalah regulasi unified acces licensing.
Untuk ke depannya, demi menjamin kualitas pelayanan jasa telekomunikasi, BRTI harus terus melakukan pemantauan dan pengecekan, terutama menjelang periode yang diperkirakan akan mengalami kepadatan trafik telekomunikasi. Selain itu, untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen, BRTI harus lebih proaktif dalam menerima pengaduan konsumen terkait layanan telekomunikasi yang nantinya akan diteruskan ke penyedia jasa telekomunikasi.
Seluruh harapan dari masa depan pertelekomunikasian Indonesia kini dibebankan ke pundak BRTI sebagai lembaga regulator telekomunikasi yang dimiliki Indonesia. Bagaimana wajah pertelekomunikasian Indonesia nantinya, apakah cerah, suram atau bahkan tidak karuan bentuknya, akan menjadi tanggung jawab dari BRTI melalui produk hukum dan regulasi yang dikeluarkannya.


 (Sumber: diolah dari berbagai sumber)

Penulis
Andi Muhammad Amrina R
Andi.Amrina@gmail.com

Sunday, February 20, 2011

Akankah Telkom-Flexi menggandeng BTEL-Esia atau Indosat-Starone?








Rencana konsolidasi, merger atau akuisisi, antara Flexi (PT Telkom) dan Esia (PT Bakrie Telecom) sudah kita dengar semenjak pertengahan tahun 2010 lalu. Merger sebelumnya juga pernah dilakukan oleh PT Sinar Mas Telecom (Smart) dan PT Mobile-8 (Fren-Hepi), tetapi kurang begitu terdengar gaungnya.
Belakangan ini kita sudah sering mendengar berita seputar rencana konsolidasi antara Flexi dan Esia yang tak kunjung dijalankan. Berita yang kita dengar antara lain seputar penolakan Sekar karyawan Telkom, menjulangnya harga saham BTEL terkait isu merger Flexi-Esia ini, dan  harga saham Telkom yang justru menguat ditengah ketidakpastian merger tersebut.

Apa motivasi utama dari konsolidari Flexi-Esia ini? Menurut kajian komersial Telkom menyatakan merger keduanya menguntungkan Telkom.
"Bakrie mempunyai network yang bagus dalam industri telekomunikasi," kata Komisaris Utama Telkom, Tanri Abeng, di Jakarta, Rabu 29 September 2010.
Menurut Tanri, tidak akan ada 'caplok-mencaplok' antara Flexi dan Esia. Kerja sama akan saling menguntungkan keduanya
Baca: Telkom menganggap merger Flexi-Esia menguntungkan

Sementara Anindya Bakrie, Direktur Utama Bakrie Telecom, berpendapat, meski Flexi-Esia bergabung, jumlahnya masih kecil dibandingkan keseluruhan pasar seluler. Selain itu, dengan konsolidasi pemain CDMA, maka akan muncul entitas baru yang akan dapat bersaing secara sehat dengan tiga besar pemain seluler lainnya
Baca: Anindya Bakrie berharap konsolidasi Flexi-Esia sehat 


Memang jika dianalisa, penggabungan antara Flexi dan Esia menimbulkan kekuatan yang sangat besar, jumlah pelanggan menjadi lebih dari 26 juta, 90 persen pangsa pasar CDMA yang 30 juta. Di seluler, gabungan ini menjadi terbesar keempat setelah PT Telkomsel, PT XL Axiata ,dan, PT Indosat, yang memantapkan eksistensi CDMA dan mengurangi saling bunuh lewat perang tarif.

Di kala industri telekomunikasi sedang ‘ruwet’, penggabungan ini dinilai sangat positif. Selain terjadi penghematan besar dalam biaya modal dan biaya operasi, juga dalam biaya pemasaran, terutama biaya tawar keduanya akan menurun tajam


Bagaimana di 2011?
Di tahun 2011 ini, ada beberapa hal yang menjadi perhatian PT Telkom:
  • Telkom ingin menjadi mayoritas, agar tidak terjadi penjualan saham di kemudian hari (mematikan bisnis perusahaan)
  • Komposisi setara, sehingga tidak menimbulkan kerisauan publik (Telkom merupakan perusahaan terbuka)
  • Evaluasi dan kajian masih terus dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa aspek penting seperti legal, perkembangan bisnis, lisensi, sumber daya manusia, regulasi dan lainnya
  • Jika perseroan mengambil keputusan untuk merger, maka dana tersebut sudah dialokasikan
Sementara itu, dari BTEL sempat berharap bisa merealisasikan rencana merger antara Esia dengan Flexi pada tahun ini. Rencana merger tersebut masih dalam tahap pembicaraan antara kedua pihak. BTEL sendiri memandang semakin cepat merger dilakukan maka semakin baik dikarenakan akan memberikan keuntungan bagi kedua perusahaan.


Telkom lirik Starone?
Di tengah isu merger antara Flexi dan Esia, berhembus pula isu kalau Telkom tengah melirik Starone. Direktur Utama Telkom, Rinaldi Firmansyah mengakui ketertarikannya untuk mencarikan mitra alternatif selain Bakrie Telecom agar bisa terus mengembangkan layanan fixed wireless access (FWA) Flexi di Indonesia.

Rinaldi kali ini tidak lagi mengungkit cerita terjal nan berliku antara Flexi dan Esia, namun lebih bernostalgia kepada pendekatannya dengan StarOne punya Indosat.

StarOne beberapa waktu yang lalu dikabarkan akan segera dilepas Indosat. Langkah ini terpaksa diambil demi mengurangi beban perusahaan karena pertumbuhan StarOne terbilang stagnan.

"Kami terbuka saja untuk kembali berdiskusi jika Indosat memang benar ingin memisahkan StarOne dari perusahaannya," kata Rinaldi.

Sikap Indosat
Presiden Direktur Indosat Harry Sasongko  mengaku  ingin mengoptimalkan StarOne  agar tidak menjadi aset tidur yang memberatkan perusahaan. Saat ini pilihan yang tersedia adalah mencari mitra strategis atau melepas sebagian kepemilikan di StarOne. Sedangkan berharap induk usaha, Qatar Telecom, untuk menginjeksi dana sepertinya hal yang mustahil karena fokus selama ini ke jasa seluler. Indosat sendiri belum bisa mengungkap strategi apa yang akan dipakai, karena masih melakukan pengkajian terlebih dahulu.

Bagaimana dengan BTEL?
BTEL sendiri ternyata tetap optimistis tanpa Flexi. Sejauh ini BTEL belum pernah menghentikan pembahasan konsolidasi dengan Telkom. Di tengah isu soal Telkom sekarang melirik FWA milik Indosat, StarOne, BTEL sendiri masih terbuka dan menunggu soal rencana tersebut. Pasar terlihat masih mempercayai kinerja BTEL. Hal itu terlihat dari cepatnya terserap obligasi senilai 130 juta dollar AS yang akan jatuh tempo pada Mei 2015. Sementara untuk pengembangan jaringan, BTEL melihat belum menjadi masalah, dari sisi kapasitas baik untuk pasar data atau suara dan SMS.

Sikap Telkom
Telkom saat ini belum mempunyai rencana/memutuskan untuk mengakuisisi operator telekomunikasi manapun meskipun analisis terhadap lingkungan bisnis tetap dilakukan, disampaikan bahwa proses akuisisi sebuah perusahaan tidak sesederhana yang diperkirakan karena memerlukan kajian yang mendalam dan komprehensif. Telkom sendiri sementara ini masih mengandalkan layanan fixed wireless access (FWA) Flexi.

Menarik untuk diikuti perkembangan isu konsolidasi antara operator CDMA tersebut. Dalam dunia bisnis/strategi sendiri, merger/akuisisi merupakan hal yang lumrah, dimana organisasi bersatu untuk membangun satu unit usaha.

Menurut pendapat penulis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses konsolidasi antara Flexi-Esia ataupun Starone:
  1.  Kesulitan-kesulitan pada saat integrasi
  2. Utang salah satu perusahaan yang luar biasa besar
  3.  Ketidakmampuan mencapai sinergi
  4. Kesulitan dalam menyatukan budaya organisasi yang beragam
  5. Turunnya semangat kerja karyawan karena pemecatan dan relokasi
Sumber: Manajemen Strategi, Fred R.David

Selain itu hal yang juga penting, adalah siapapun perusahaan yang terlibat dalam konsolidasi, Flexi dengan Esia, atau Starone, atau lainnya, hendaknya segera melakukan konsultasi terlebih dahulu dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Konsultasi tersebut sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 57 Tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Hal ini menjadi rentan, dikarenakan posisi Flexi dan Esia sementara ini mendominasi pasar seluler berbasis CDMA di Indonesia. Kondisi tersebut sangat rentan mengarah pada adanya praktik monopoli. Diharapkan merger tersebut tidak melanggar Pasal 28 dan 29 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Ke depannya penulis beranggapan, akuisisi atau merger di industri telekomunikasi merupakan yang terbaik saat ini. Kita tentu berharap jumlah operator di Indonesia, dengan 235 juta penduduk, menciut menjadi sekitar 4 atau 6 operator. Sebagai perbandingan, China yang penduduknya 1,3 miliar hanya punya 3 operator seluler. Proses akuisisi atau merger tersebut sebaiknya dilakukan supaya performansi dari tiap Operator di Indonesia dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan bisa lebih optimal.

Penulis
Raden Kurnia Supriadi
@Raden_Kurnia_ui
  

 

Tuesday, February 15, 2011

NOKIA Memilih Jendela Untuk Melawan Robot Hijau, Apel Putih dan Beri Hitam


Seperti sudah saya duga sebelumnya, pergantian President dan CEO NOKIA ke Stphen Elop yang notabene adalah mantan pegawai Microsoft akan memperbesar peluang NOKIA mengarah ke sistem operasi Windows Phone 7. Walaupun sebelumnya hanya berupa peluang, sejak kemarin perkiraan saya tersebut terbukti menjadi nyata. Seperti yang beberapa hari ini diberitakan di berbagai media, NOKIA memutuskan untuk menggunakan sistem operasi Windows Phone 7 untuk perangkat smartphone kedepan  dan meninggalkan MeeGo yang sebelumnya digadang-gadang menjadi sistem operasi unggulan di kelas NOKIA smartphone.
                Munculnya sistem operasi baru, seperti i-Phone OS dari Apple, Android dari Google, dan Blackberry dari RIM benar-benar menghadang NOKIA di kelas smartphone bahkan melemahkan perangkat NOKIA lain yang menggunakan platform symbian yang sebelumnya didukung oleh banyak developer aplikasi. MeeGo yang merupakan sistem operasi berbasis linux yang coba dikembangkan NOKIA pun, tidak bisa melawan keperkasaan ketiga pendatang baru diatas.
                Sejak penurunan share market di kelas smartphone, NOKIA memang dikabarkan akan segera mengganti symbian, sistem operasi yang selama bertahun-tahun menjadi sistem operasi utama perangkat NOKIA. Beberapa bulan yang lalu kabar tersebut sempat dibantah, dengan pernyataan NOKIA yang tidak akan memberhentikan pengembangan Symbian. Namun beberapa hari kemarin, pernyataan NOKIA yang akan menggunakan Windows Phone 7 mulai membuka kembali nyatanya berita tersebut. Namun patut dipertanyakan akankah NOKIA kembali sukses menguasai pasar bersama Windows Phone 7 ? Mari kita coba lihat beberapa informasi mengenai perkembangan smartphone beberapa tahun terakhir.
                Menurut data yang dipublikasikan oleh Canalys,untuk akhir tahun 2010 Andoid telah menjadi penguasa share terbesar di kelas smartphone diseluruh dunia dengan market share 32.9%, disusul oleh NOKIA sebesar 30.6%, selanjutnya Apple dan RIM di tempat ketiga dan keempat dengan market share sebanyak 16% dan 14.4%. Sementara Microsoft dengan Windows Mobile hanya menguasai 3.1% sehingga berada diurutan kelima.  Dalam data tersebut juga disebutkan bahwa Google dengan Android-nya telah berkembang sebanyak 615.1% dari tahun 2009, sementara NOKIA hanya berkembang sebanyak 30%, bahkan untuk Microsoft menurun sebanyak 20.3%. Sebagai informasi di tahun 2009 NOKIA menguasai pasar dengan share sebanyak 44.4 %, di ikuti oleh RIM diurutan kedua dan Apple di urutan ketiga dengan 20% dan 16.3%. Sementara Android hanya berada diurutan  keempat dengan share 8.7%.



Smartphone market Share (http://www.canalys.com)


             Symbian diluncurkankan pertama kali sejak Q2 2002 dan digunakan pertama kali pada NOKIA seri 7650 hingga kemudian berkembang pesat menguasai pasar dengan share terbesar 47% ditahun 2008.  Android dari Google, pertama kali diluncurkan di bulan oktober 2008, kemudian terus berkembang dengan dukungan dari banyak produsen smartphone sehingga akhirnya dapat melangkahi symbian di akhir tahun 2010.  Sementara Windows Phone 7 yang merupakan pengganti Windows Mobile dari Microsoft pertama kali diluncurkan di bulan oktober 2010, namun jika dirunut dari awal maka sistem operasi smartphone  yang pertama kali diluncurkan Microsoft adalah Pocket PC 2000 pada bulan april 2000. Dalam perkembangannya sistem operasi besutan Microsoft kurang berhasik karena setelah berganti versi beberapa kali hingga saat ini mereka hanya dapat menguasai share sebanyak 3.1% (Q4 2010). Pertarungan yang cukup menarik, mari kita amati satu-persatu perkembangannya.
Symbian berkembang pesat setelah beberapa vendor perangkat telepon mulai menggunakannya, diantaranya adalah Siemens, Samsung, Panasonic, LG, Sony Ericsson dan lain-lain. Dengan didukung oleh banyak developer yang mengembangkan beberapa aplikasi pada sistem operasi ini (walaupun berlicense), pengguna perangkat telepon berbasis symbian terus meningkat. Namun seiring dengan semakin cepatnya perkembangan aplikasi telepon yang semakin haus akan memori dan variasi, symbian akhirnya sudah tidak mampu lagi mengatasi beberapa masalah memori dalam aplikasinya. Hingga akhirnya mulai banyak ditinggalkan oleh para developernya sehingga berdampak pada penurunan pengguna perangkat berbasis symbian.
                Android, berkembang pesat setelah google membuka open license sejak oktober 2008. Setelah sebelumnya hanya digunakan pada Google-Phone, bergabungnya beberapa vendor smartphone seperti HTC, NEXUS, SAMSUNG, dan lain-lain turut memacu perkembangan dari Android. Dengan semakinn banyaknya developer aplikasi android, disertai dengan informasi kehandalannya dari mulut ke mulut di berbagai media mendorong banyak pengguna untuk berpindah ke smartphone berbasis Android.
                Microsoft mulai tertarik mengembangkan system operasi smartphone  pada tahun 2000 dengan meluncurkan Pocket PC 2000, dilanjutkan dengan Pocket PC 2002, kemudian berganti menjadi Windows Mobile 2003 dan 2003 SE, Windows Mobile 5, 6, 6.1, 6.5, hingga terakhir Windows Phone 7 . Sejak diluncurkan pertama kali, sambutan pengguna terhadap platform smartphone besutan Microsoft ini ternyata kurang begitu bagus. Ketertutupan Microsoft atas semua source code software-nya serta banyaknya masalah dan kekurangan pada aplikasi tersebut berperan banyak pada lambat perkembangannya,  meskipun digunakan oleh banyak vendor smartphone termasuk HTC yang terbesar, yang juga membuat perangkat bagi vendor lain. Dengan beralihnya HTC ke Android, semakin memperbesar penuruna pangsa pasar dari Microsoft Windows smartphone.
                Dari data di atas, saya pribadi pesimis jika NOKIA sanggup menghadang keperkasaan Android, kemolekan dari Apple, dan manisnya Blackberry. Jika dilihat dari data-data diatas dapat ditarik trend pengguna smartphone, menurut saya adalah pertama pasar pengguna smartphone digerakan oleh informasi atau ulasan-ulasan yang menarik di berbagai media khususnya media internet, kedua digerakan oleh dukungan berbagai aplikasi yang banyak dibuat oleh developer pada sistem operasi  tersebut, dan yang ketiga adalah dukungan dari vendor smartphone terhadap aplikasi yang diusungnya. Satu hal lagi jika merujuk kepada istilah pada buku terbaru Renald Kasali “Cracking Zone”, masyarakat sekarang cenderung menginginkan produk yang “freemium” yaitu produk yang “free”, gratis atau supermurah dengan kualitas yang tetap premium. Semua keunggulan tersebut diatas saat ini dimiliki oleh Android, hingga menjadikannya sebagai sistem operasi smartphone yang terdepan.
                Akankah NOKIA kembali menguasai pasar smartphone dengan menggandeng Microsoft? kemungkinan itu tetap ada walaupun kecil menurut saya, syaratnya NOKIA dan Microsoft dapat membuat strategi yang tepat dalam mengahadapi Android beserta vendor-vendor smartphone pendukungnya. Sedikit pemikiran nakal saya mengatakan, bukannya sebaliknya Microsoft memanfatkan Nokia untuk menaikan pangsa pasar smartphone-nya. Kita tunggu perkembangannya beberapa bulan mendatang.


Penulis,

Yovi Manova



Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger